Herman Widjaja
Heboh soal babi ngepet yang berujung dengan ditangkapnya seorang ustadz di Depok, telah membawa saya kepada kenangan masa lalu, ketika Depok, kota yang sangat permai ketika itu, masih ada babi. Bukan babi hutan, apalagi babi ngepet seperti yang heboh di Bedahan, Depok, tetapi babi ternak.
Ketika saya kecil, cerita tentang peliharaan babi di Depok bukan sesuatu yang aneh. Sebelum tahun 70an, ketika tinggal di Cikumpa (Kecamatan Sukmajaya sekarang)saya sering diajak bapak ke Gereja Katolik di Depok. Salah seorang donatur gereja adalah – kalau tidak salah — Pak Koesnandar, orang yang cukup berada di Depok. Rumahnya besar, halamannya luas, dan di belakang rumahnya, terdapat kandang-kandang babi yang besar. Di belakang rumahnya dulu ada tempat parkir air buatan Belanda yang disebut Rawa Kering oleh orang-orang Depok.
Saat ini Rawa Kering sudah berubah menjadi perumahan yang dibangun oleh penyanyi Chicha Koeswoyo, dan rumah besar milik Pak Koesnandar menjadi cluster perumahan Villa Hijau.
Ketika orangtua kami pindah ke Kampung Baru (sekarang Kampung Pancoran Mas), ada peternakan babi yang cukup besar di pinggir Rawa Besar Depok. Tetapi ketika pemerintah membangun Perumnas Depok I, peternakan itu ikut tergusur. Letaknya sekarang kira-kira berada di Jl. Dukuh dan Jl. Sawo Depok I.
Ketika masuk SMP tahun 1976, saya berteman dengan beberapa “Orang Depok Dalam”. Salah satu di antaranya bernama Gerco Soedira (Koko). Meskipun usianya lebih tua 2 – 3 tahun, saya berteman dekat dengan dia baik di kelas maupun di luar kelas. Saya sering menginap di rumahnya di Jl. Tengah (sekarang Jl. Siliwangi).
Ada dua hal yang membuat kami cocok. Pertama kami sama-sama kere, kedua ada simbiose mutualisme. Dia sering mentraktir saya jajan, saya sering memberinya contekan pelajaran, terutama dalam mengerjakan PR.
Lalu darimana Koko mendapatkan uang untuk mentraktir? Setiap hari sepulang sekolah dia mencari dedaunan untuk pakan babi! Tantenya memiliki beberapa ekor babi. Selain diberi dedak, juga dedaunan yang diambil dari pinggir kali seperti daun keladi dan sebagainya.
Meskipun masih SMP, Koko sudah sering main judi. Lawannya bukan anak-anak, tetapi orang-orang dewasa. Termasuk Tantenya sendiri yang punya ternak babi.
Apabila dia tidak sekolah, saya datang ke rumahnya. Kalau tidak ada di rumah, Mamanya cuma bilang, “cari aja di kandang babi!”. Ternyata benar, Koko sedang ikut berjudi di kandang babi kosong.
Menjelang tahun 80-an sudah hampir tidak ada yang memelihara babi di Depok Dalam. Satu-satunya orang yang memelihara dan menjual daging babi adalah lelaki paruh baya bernama Yance. Rumahnya persis di ujung Jembatan Panus di pinggir Sungai Ciliwung. Tetapi tahun 80-an sudah benar-benar tidak ada lagi yang memelihara babi. Kalau sate dan sop babi atau babi kecap masih ada yang jual!
Selain di Depok Dalam, pada masa itu ada pula warga dari kampung lain yang memelihara babi. Menurut kakak saya (almarhum), orang-orang di kampung Bulu masih memelihara babi. Kampung Bulu adalah sebuah kampung yang berada di pinggiran Depok. Terletak tidak jauh dari Kampung Perigi dan Desa Bedahan yang sekarang lagi heboh karena babi ngepet!
Kampung Bulu dihuni oleh orang-orang keturunan Cina yang cukup dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Menurut guru silat dari Pengasinan yang dulu sering ke tempat kami, aliran pencak silat asli Depok yang kini masih bertahan, konon asal muasalnya dari orang-orang Cina daratan yang menetap di kampung itu hingga beranak-pinak.
Seiring dengan perkembangan jaman, “otentifikasi” Kampung Bulu juga luntur. Tidak ada lagi orang yang memelihara babi, sebagaimana tempat-tempat lainnya di Depok. Apalagi secara politik, Depok sudah dikuasai PKS.
Dengan adanya kasus “Babi Ngepet” di Desa Bedahan, Depok, kenangan saya kembali meluncur ke masa lalu, ketika masih ada orang memelihara babi di Depok. Saya tidak tahu, apakah harus berterima kasih kepada Ustadz Adam, atau menyumpahinya!