Sungguh tak mudah mencari pengertian kata ‘duta’ dalam satu kata. Pengertian, ya bukan padanan. Jangankan dlm satu kata, dlm satu kalimat pun, tak gampang rasanya. Ada yg mengatakan, duta padanannya dalam satu kata adalah: wakil. Wah, semakin rancu. Wakil itu pun punya bbrp pengertian yg semakin jauh dari arti kata ‘duta’. Wakil, bisa diartikan bawahan atau setara dgn seseorang atau sesuatu yg diwakilinya. Wakil rakyat, misalnya,…bukan berarti para anggota dewan itu adalah bawahan rakyat bukan?
Kembali ke-kata ‘duta’. Dalam bahasa Inggris adalah: ambassador. Mungkin dalam bahasa Indonesia lebih dekat jika dikatakan ‘perwakilan’, drpd ‘wakil’.
Perwakilan adalah orang atau lembaga yg diharapkan memberi, mereprentasikan, menularkan atau paling tidak mempengaruhi suatu kebaikan kepada lingkungan.
Aku mengenal Golagong, sejak remaja, ketika dia kerap berkunjung ke majalah Hai untuk menyerahkan naskah cerita bersambung -yg kelak terkenal itu- “Balada si Roy”. Sebuah kisah tentang seorang remaja lelaki yg senang bertualang. Ketika itu aku tak lagi bekerja di Hai, tapi (meminjam istilah Gun, seorang teman lain): sedang ‘tour of duty’. Ditugaskan membuat dan mengomandani perwajahan media baru. Benar-benar baru kita kenal. Media dgn format tabloid. Formatnya lebih kecil drpd koran, tapi lebih besar daripada majalah. Berisi gosip. Tabloid Monitor. Dari palmerah pindah lokasi ke Senayan (sebuah wilayah yg kerap dikonotasikan “anggota dewan”), kami praktis jarang bertemu. Paling-paling sesekali saja, jika aku ke-Palmerah dan Gong kebetulan berkunjung ke-Hai.
Aku pernah menggoda, karena namanya unik, pasti bukan nama asli. “Hehe, bukanlah. Mana ada emak-emak atau bapak-bapak kita memberikan nama begitu. Nama itu nama beken sebagai penulis. Yaa, kegenitan masa remajalaah. Sebetulnya nama itu juga buat memberi semangat. Gol-a-gong. Ujung dari cita-cita, harapan supaya tercapai ‘kan kita kerap menyebutnya Gong”. Tapi orang terlanjur mengejanya dijadikan satu kata: Golagong.
Ketika Gong membuat “Rumah Dunia” di dekat rumahnya di daerah Banten, aku sempat mengunjungi. “Gampang kok, kang Aries, katanya. Begitu keluar dari pintu tol Cilegon, ketemu pangkalan ojek. Tanya aja Rumah Dunia. Kalok gak tau, berarti tukang ojeknya cemen tuuh”/ “Hlaaa, ‘gimana kalok kebetulan pas hari itu tukang ojeknya cemen semua?!”/ “Hahaha,…gaklaaah,…pasti ada yg tau. Rumah Dunia terkenal kok. Paling tidak terkenal di kalangan tukang ojek. Hahaha”. Akhirnya aku bukan cuma bertanya, bahkan ada seorang tukang ojek yg dgn senang hati memandu sampai ke-rumah Gong.
“Rumah Dunia” yg digagasnya itu, adalah wadah untuk menampung dan mengajak anak-anak remaja mencintai bacaan dan tempat Gong ‘menularkan’ minat menulis. Dia selalu mengingatkan kepada lingkungan terdekatnya: mulailah menulis tentang apa saja. Selain tempat membaca dan menulis, tempat itu kian berkembang jadi tempat berdiskusi, menampilkan kegiatan kesenian, baca puisi, bermusik dan,…mungkin saja pameran karya lukis.
Kemarin ketika sekelebat mendapat kabar bahwa Gong menjadi ‘Duta Baca’, aku tentu saja senang dan bangga bercampur heran. Hlo? Bangga sdh tentu. Karena seorang teman mendapat kehormatan itu. Awalnya aku menduga, itu diberikan oleh pemprov Banten. Aku belum sempat mengucapkan selamat. Heran, karena, setahuku, Gong adalah orang yg selama ini kritis dan terus-menerus mengkritik kebijakan provinsi tempat tinggalnya. Dia selalu geregetan jika melihat sesuatu yg tidak benar terjadi di sekitar wilayah tempat tinggalnya. Malah aku menilai, keberaniannya luarbiasa!
Ternyata yg terjadi adalah sesuatu yg membuatku lebih bangga. Gong yg bernama asli Heri Hendrayana Harris, menjadi Duta Baca menggantikan atau meneruskan ‘tongkat estafet’ yg sebelumnya dipegang oleh Najwa Shihab.
Dalam acara pergantian itu Najwa Shihab berkata: “Saya kira, mas Golagong adalah figur yg tepat untuk menggantikan atau saya mengistilahkan: mengemban ‘tongkat estafet’ sebagai Duta Baca dari tangan saya. Meski, tongkat estafet itu tak lagi di tangan saya, bukan berarti saya berhenti ‘menularkan’ minat literasi, minat membaca dan menulis kepada siapa saja, terutama generasi muda. Minat membaca dan menulis bisa dilakukan oleh siapa saja. Berarti, siapapun sesungguhnya bisa menjadi Duta Baca”
Betul, mbak Najwa.
Gong, selalu ‘mengompori’ remaja yg datang ke komunitasnya: “Jika datang ke perpustakaan, selain ingin membaca, juga sekalian memeriksa, apakah perpustakaan itu sudah mengoleksi buku-buku atau tulisan-tulisan karya kita? Keren ‘kaaan!
Selamat kang Gong. Selamat bertugas dan jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatan. Jasmani dan -terutama- rohani. Rohadi kalok mau ikut juga, mangga diajak atuuuh…