Seide.id – Seorang teman mengungkapkan (katakanlah) ngedumel atau uneg-uneg tentang (mungkin) beberapa temannya, hal yang menurutku memprihatinkan, lucu dan agak egois. Temannya seorang penulis (kebanyakan fiksi). Rupanya, menurutnya temannya itu kurang suka membaca buku. Temannya dengan gagah bilang: “Aku tak (perlu) membaca buku. Aku cukup membaca alam di sekitarku, menghirup udaranya dan merasakan getar atmosphernya”,
wuiiih, dahsyaaat. Begitu percaya diri dan…memprihatinkan, sesungguhnya.
Memprihatinkan?
Ya,…karena tanpa membaca kisah orang lain (bukan semata sebagai pembanding), tulisan akan kering. Serenyah, sepandai dan seenak apa pun, caranya bercerita. Tapi bukan berarti, kutip sana-kutip sini. Dalam hal kutip sana-kutip sini ini, seorang sahabat (almarhum) pernah mengkritik dengan nada gurau tentang seorang penulis esai terkenal: “Tulisan esai kok. 70%nya mengutip..”.
Egois? Seorang penulis. Penulis apa pun, baik tulisan ilmiah, esai, cerpen, novel, biografi atau fiksi,…tentu punya keinginan bahwa karyanya dibaca orang lain ‘bukan? Syukur-syukur jika buah fikirannya yang dipublikasi di media apa pun, menjadi inspirasi bagi orang lain. Karena jika tidak, yaa,…dia kebih baik menulis buku harian atau diary saja. Kisahnya ingin dibaca orang lain, sementara itu dia tak suka membaca kisah orang lain.., egois bukan?.
Kembali kepada temannya teman yang bilang: “Membaca yang terjadi di sekitarnya” tadi. Itu adalah ungkapan seorang penulis kondang dari ranah Minang yang terkenal dengan julukan: “Si pencemo’oh nomor satu”, yaitu Ali Akbar Navis, atau khalayak lebih mengenalnya sebagai AA Navis saja.
Bukunya bertajuk “Alam Takambang Jadi Guru”. Memang, itu adalah ungkapan khas orang Minang, yang bolehjadi bukan ungkapan orisinal ‘diciptakan’ oleh AA Navis. Tapi AA Navis telah mengupas-tuntas ungkapan itu, dalam sebuah buku yang tak cuma asyik dibaca karena ditulis dengan konfrehensif, luas, ilmiah, tapi tidak kaku dan menggurui. Jadi sangat asyik dibaca dan menggugah wawasan dan inspirasi kita tentang bagaimana belajar terus menerus dari sekitar. “Belajar sejak dari buaian hinga menjelang ke liang lahat”…(juga suatu pepatah masyarakat Minang).
Pada awalnya, aku yang bersekolah di sekolah formal, sekadarnya saja karena anak-anak orangtuaku banyak. Sehingga setelah SMP aku mencari sekolah sendiri, lalu bersekolah di sebuah sekolah setara SLA yang aku sebut DTS (daripada Tidak Sekolah).
Ilustrasi: Aries Tanjung
Bukan berarti sekolah itu tak berkontribusi apa-apa kelak kemudian hari, dalam kehidupan dewasaku. Tapi, sekolah yang menitik beratkan perekonomian itu paling tidak telah memberi ilmu. Meski tak cukup kuat untuk mengubah minatku kepada bidang gambar menggambar, yang kelak benar-benar membuatku yakin, menjadi jalan hidupku.
Bekerja sebagai ilustrator atau yang aku kerap istilahkan ‘hanya pelengkap’ saja dalam suatu perusahaan media, dengan pendidikan formal alakadar, membuat seseorang harus ‘mengkatrol’ dirinya dengan sesuatu ‘diploma formal’ supaya kedudukan dan ‘upahnya’ ikut terangkat. Tapi, setelah memasuki sekolah formal, aku merasa segala teori tentang hal-hal yang berhubungan dengan minatku itu, sudah aku kerjakan. Hlaa…, bukankah aneh dan bodoh, membuang-buang waktu, tenaga dan biaya untuk sesuatu yang sudah aku bisa bahkan selalu kita praktekkan? Akhirnya aku drop-out.
Pekerjaanku, membuat aku menuntut diriku sendiri untuk banyak membaca. Pada awalnya seperti orang lain, hanya membaca hal yang berhubungan dan dianggap akan menunjang pekerjaannya. Atau populer dengan (semoga analogi ini pas): Man only hear and read what he wants to hear and read. Tapi lama-kelamaan, membaca dari sekadar ‘kelengkapan’ brubah menjadi keasyikan. Mungkin karena minatku yang cukup beragam (tepatnya, kata seorang teman dlm logat Betawi: banyak maunyeee). Lalu aku membaca tentang segala hal yang menyangkut bidang-bidang yang aku minati itu.
Seorang rekan wartawan punya ungkapan unik bernada tanya, begini: “Sebagai pekerja media, kita adalah orang yang tahu serba sedikit (tidak mendalam) tentang banyak hal. Sebaliknya, ada orang-orang yang tahu banyak (secara mendalam) tentang sedikit hal. Nah, kita yang mana?”.
Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya yang terkenal pernah membuat ungkapan yang agak menggugat: “Bagaimana mau mengerti tentang (ke)manusia(an), jika tak pernah membaca novel”.
Orang tentu akan bertanya-tanya,…lho apa hubungannya (ke)manusia(an) dgn membaca novel?
Oo,…menurutku banyak, dunsanak. Tentu, apa pun saja yang terjadi di pelosok dan belahan mana pun di dunia ini, tak mungkin terlepas dari sesuatu hasil yang diakibatkan oleh ulah manusia. Bagaimana seharusnya manusia memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia dan seterusnya.
Seorang teman penggiat literasi, mempunyai pendapat yang unik tentang dunia literasi yang sekarang berubah dengan cepat dari analog (kertas?) menjadi digital.
“Di kota-kota besar, mungkin sebagian besar kebiasaan masyarakat memproleh informasi, secara fisik, memang lewat digital. Tapi untuk masyarakat di kota-kota kecil, tak bisa disamakan. Boro-boro kita mengharap mereka ‘melek’ dunia digital. Bahkan seandainya mereka ‘melek’ pun, rasanya terlalu mahal jika harus membeli pulsa. Rasanya mereka akan mengutamakan keperluan sehari-hari terlebih dulu, daripada membeli pulsa”
Maka, temanku ini membuat semacam yayasan yang menyalurkan buku-buku bacaan tentang apa saja, untuk masyarakat di pelosok. Buku-buku itu diperoleh dari para dermawan penyumbang. Suatu usaha nonprofit dan kemanusiaan yang luarbiasa!
Dia kerap nengenakan T-shirt lucu bertuliskan: “Baca, Iqra, Read” Yang kerap dikomentarinya sendiri bernada gurau: “Adakah suatu kebetulan jika kata-kata itu terdiri dari jumlah huruf yang sama, yaitu 4 buah?
Kebetulan,…kata ‘write’ yang berarti ‘tulis’ juga mempunyai jumlah huruf yang sama, yaitu 5…
Selamat membaca, dunsanak…
(Aries Tanjung)