OLEH BELINDA GUNAWAN
Dulu ada pemeo “no news, good news”. Seumpama ada kerabat atau teman yang sudah lama tak mengirim kabar, kita menghibur diri dengan ungkapan itu yang maksudnya: paling tidak, dia baik-baik saja. Tidak ada bad news.
Bad news … huh. Belakangan ini begitu banyak bad news beredar di pasaran. Bad news dianggap seru, ditunggu-tunggu, dijentreng berkepanjangan, dipluntar-pluntir, diutak-atik, dijadikan banyolan, ditik-tokin bahkan. Seperti yang marak belakangan ini, menyangkut pengguna sabu-sabu. Jadi sedih melihatnya, terpikir bahwa orang ini punya ortu, punya anak, punya teman dan kerabat, sekalipun ia memang salah.
Bad news yang good news ini marak di mana-mana. Di WA, di medsos, orang suka menyiarkan bad news untuk menjaring lebih banyak “like” dan komen yang membuatnya semakin semarak. Mungkin hal ini disebabkan, kebanyakan orang punya naluri bergunjing seperti tiga orang gossipers di gambar ini.
Di portal, bad news juga mendapat tempat istimewa, tentunya untuk menarik iklan. Pihak iklan tahu pembaca memburunya, dan ke situlah ia menuju agar mendapat lebih banyak exposure. Padahal seringkali berita yang ditulis ya begitu-begitu saja, tidak ada yang baru, hanya judulnya saja yang seolah-olah baru, yang memohon agar di-klik (click bait).
Ngomong-ngomong soal iklan, dulu waktu aku masih baru di media, masih idealis, hati kecilku sering terganggu dengan “kecerewetan” iklan. Penempatan iklan yang ngotot mau di kiri, di kanan, atau di tengah artikel, membuatku kesal. Orang bagian promosi ngotot mau mengadakan acara yang secara idealis mencle, aku jengkel.
Mungkin orang iklan dan promosi juga jengkel padaku. Mungkin mereka ingin menjitak kepalaku, mengatakan, “This is business, Ma’am! Iklan itu duit, tahu!” Dan duit itu perlu. Dari duit itulah penerbitan bisa hidup, dari situ juga gajiku dibayar.
No ad, no mag, tidak ada iklan, tidak terbit, begitulah. Teringat nasib Kumpulan Cerpen Gadis yang dulu kuasuh, yang sukses meraih banyak pembaca tapi tidak ada iklannya. Hanya beberapa kali ia beredar, masih hangat-hangatnya, tapi terpaksa dihentikan karena tidak didukung pemasukan dari iklan.
Dengan berat hati aku pun mulai belajar memahami, bernegosiasi, menemukan jalan tengah. Belajar cincay juga, karena menyadari pentingnya kedua pihak berkolaborasi. Aku tahu, balans itu perlu.
Tapi tetap, ada rasa yang mengganjal kalau bad news dijadikan good news, apalagi kalau kompori menjadi hot news yang tidak lucu.
Proporsional sajalah.