Deddy Corbuzier menyerahkan satu kopor uang kepada Dokter Gunawan. Foto: podcast Deddy Corbuzier
Oleh HARRY TJAHJONO
Berkat Deddy Corbuzier (DC), istilah medis badai sitokin belakangan ini diungkap media sehingga dikenal masyarakat luas. Bukan tidak mungkin akan menjadi idiom publik yang popular, yang tidak hanya digunakan sebatas istilah medis tapi juga untuk “menyangatkan arti” gebalau masalah politik dan lain sebagainya.
Istilah badai sitokin itu muncul ketika dalam kanal podcast DC di YouTube, mentalist itu mengklarifikasi ketidakhadirannya selama dua minggu akibat kritis terpapar Covid-19. Dalam podcast hari Minggu (22/8/2021) itu DC menghadirkan dokter Gunawan yang sudah menyelamatkan nyawanya yang berada di pusaran badai sitokin.
“Saya olahraga tiap hari, vitamin D saya tinggi, zinc saya tinggi, saya bisa kena tanpa gejala, lalu minggu kedua, hancur saya. Saya ketemu dokter Gunawan, dia bilang ini memburuk, ketika di cek CT toraks sudah 60 dan keadaannya masuk ke momen badai sitokin,” kata Deddy.
Saya tidak kenal Deddy Corbuzier (DC). Juga tidak pernah bertemu muka, apalagi kontak fisik. Hal baik bagi saya oleh karena dengan demikian tidak perlu khawatir terpapar Covid-19 ketika dialami DC, setelah melakukan tiga kali test antigen dinyatakan negatif.
Tapi, sebagai jurnalis media hiburan sejak 1980, utamanya televisi, saya tak bisa lain harus menyimak DC sejak ia pulang dari Amerika Serikat dan tampil sebagai magician, master ilusi atau mentalist dan predikat lain yang ia perkenalkan, yang bagi penonton (sulap) televisi Indonesia terdengar baru dan asing.
Ilusi sendok dibengkokkan DC di depan penonton, bukanlah termasuk trik sulap yang rumit dan baru. Tapi, jutaan pemirsa televisi mampu disihir DC dengan penampilan “sulap” magician, mentalist, ilusi, sihir atau apapun namanya, dan sendok bengkok itupun sungguh membekas dalam ingatan publik. Tak terlupakan.
Bagi saya, bukan hanya ilusi sendok bengkok itu semata yang membuat DC langsung merebut perhatian publik. Kesadaran DC untuk tampil “beda” atau otentik (meskipun botak dan make up aneh DC mirip penampilan pesulap ternama dunia Max Maven), membuat saya menaruh respek dan mendapat kesan bahwa DC sangat serius menjalani pilihan “takdirnya” sebagai magician, mentalist, master ilusi, entertainment yang kharismatik, visioner dan elegan.
Pertunjukan sulap off air yang digelar DC, bahkan dilakukan di tempat umum yang terbuka, melibatkan media dan publik yang luas, berlangsung selama beberapa hari, cukup menjelaskan profesionalisme dan visinya sebagai magician/mentalist. Tentu saja hal itu menjadikannya master magician/mentalist terkemuka kalau bukan nomor satu di Indonesia, bahkan dunia. Wajar dan sudah sepantasnya jika DC dua kali berturutan menerima Merlin Award sebagai Mentalis Terbaik Dunia.
Setelah berada di puncak sebagai magician mentalist, hemat saya, DC tidak termakan egoisme dan kecongkakan. DC tidak gentar tersaingi atau bahkan sengaja menciptakan pesaing. Lewat acara sulap di televisi nasional, DC justru mulai menunjukkan watak altruistiknya dengan mengangkat para magician seprofesinya ke panggung popularitas. Salah satunya adalah Pak Tarno, pesulap tradisional yang semula hanya dikenal sebatas kecamatan oleh DC dinobatkan menjadi master pesulap nasional.
Ketika pada 2010 menjadi host Hitam Putih program di sebuah televisi nasional, watak altruistik DC semakin tampak jelas. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah narasumber Hitam Putih, yakni mereka yang notabene memiliki hasrat altruisme, mempunyai passion dan perhatian terhadap kesejahteraan hidup orang lain. Seringkali passion altruisme itu sampai melupakan kepentingan dirinya sendiri, dan tentu saja mengikis habis kecongkakan egoisme.
Hal lain yang membuat saya menaruh respek pada DC adalah bahwa sebagai mentalist, host dan YouTuber, ia tidak pernah mempermalukan dan apalagi merendahkan narasumber yang menjadi tamunya. Suatu perilaku sok tahu dan sok pintar seperti banyak dan sering dilakukan oleh host atau YouTuber.
DC memang pernah terpeleset menjadikan disabilitas sebagai bahan candaan sehingga mengundang kecaman dan somasi dari kalangan difabel. Tapi, dengan elegan DC minta maaf dan mengklarifikasi bahwa yang ia lakukan itu jauh dari maksud buruk atau niat jahat. Dan permasalahanpun bisa diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu dalam beberapa kali wawancara dengan tabloid Bintang Indonesia, 2019, saya tanpa ragu menyebut podcast DC sebagai salah satu konten YouTube yang layak tonton, menarik, menghibur dan bermanfaat.
Saya bukan pelanggan podcast DC dan tidak seluruhnya pernah saya tonton. Saya termasuk pemilih dalam hal menonton konten YouTube. Tapi, sebelum menulis artikel ini, saya terlebih dulu memutuskan menjadi subcriber podcast DC.
Saya lakukan hal tersebut sebagai pernyataan respek kepada Dokter Gunawan yang gairah altruistiknya telah menyelamatkan nyawa banyak pasien Covid-19 dengan uang dari kantongnya sendiri. Dengan mengorbankan peluang untuk hidup kaya sejahtera demi menyelamatkan jiwa orang lain. Juga respek kepada DC yang telah memberikan satu koper uang kepada Dokter Gunawan untuk digunakan menyelamatkan pasien Covid-19 yang tidak mampu. Juga sebuah mobil baru supaya Dokter Gunawan tidak perlu lagi naik taksi online.
Selain ungkapan respek, tulisan ringan ini juga menitipkan harapan semoga badai sitokin yang mempertemukan Dokter Gunawan dengan DC, akan menularkan gairah hasrat altruisme kepada banyak orang. *