Kebiasaan saya sesudah mahgrib: lantas makan, dilanjut minum amlodipine dan vitamin B kompleks.
Sesudah itu tepaar. Mungkin pengaruh vitamin tersebut yang bikin cepat ngantuk. Ngelilir rata-rata seputar pukul 20.00.
Akhir-akhir ini saya sering nengok lantai depan rak buku. Sejak ada pandemi, setiap paket yang datang diletakkan di situ, lantas disemprot dengan semacam cairan detol.
Hampir setiap hari ada saja paket yang tergeletak. Umumnya hasil pesanan ‘on line’ dua putri saya. Dengan kondisi seperti itu, saya sering bermonolog “iki opo ae sing dituku” — kok ya ada saja yang dibeli.
Kadang barang-barang yang dipesan saya anggap sepele. Tapi boleh jadi tidak bagi mereka. Mungkin karena pandemi, Sasa dan Suluh sudah jarang belanja secara konvensional.
Setelah paket diterima dari petugas pengiriman, bungkusan diletakkan di lantai depan rak buku, lantas disemprot dengan ‘sprayer’ yang isinya cairan “pembunuh” virus itu — didiamkan beberapa saat, untuk dibongkar nanti.
Nah, sesudah ngelilir di kamar depan seputar pukul tadi, saya lantas bangkit dan menuju kamar mandi, tak lupa nengok ke bawah — arah kanan depan rak buku. Saya lihat tergeletak amplop coklat.
Setengah jam kemudian amplop coklat yang sudah disemprot tersebut, saya keluarkan isinya, yaitu buku dengan judul ‘Sang Badut dan Penyair’.
Sudah puluhan buku yang ditulis Hamid Nabhan yang pelukis impresionis dan penyair ini. Hamid memang produktif.
Kali ini buku yang saya terima berupa seuntai cerpen yang tercetak pada 26 halaman. Dan yang memberi pengantar Prof. Jakob Sumardjo akademisi dan budayawan dari Bandung.
Pak Jakob antara lain memberi catatan pada ‘Sang Badut dan Penyair’ : Kisah ini sebenarnya mengandung kemungkinan yang kaya untuk dikembangkan sebagai karya yang lebih besar, novel atau novelet.
Alek Subairi sebagai yang ‘ndisain’ kover buku ini cukup jeli. Badut yang biasanya difoto-profil dalam keadaan tertawa lebar lepas itu, lha kok diilustrasikan berwajah kecut.
Selamat Mas Hamid untuk buku barunya !