BADUY : 1. Menjaga Kemurnian dengan Isolasi

Oleh HENRI NURCAHYO

Baduy adalah nama sebuah suku atau komunitas masyarakat adat yang berada di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Mereka terbagi menjadi dua, Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam menempati 3 (tiga) kampung yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Sedangkan masyarakat Baduy luar berdiam di 56 (lima puluh enam) kampung yang jumlahnya terus bertambah. Secara umum Baduy cenderung mengisolasi dari dunia luar, khususnya Baduy Dalam.

Mereka menolak teknologi, khususnya listrik, menolak peralatan modern, hanya mengolah tanah dengan cara yang sangat sederhana, bahkan masyarakat Baduy Dalam tidak pernah menggunakan sarana transportasi sama sekali. Kemana-mana selalu berjalan kaki hingga ratusan kilometer jauhnya. Tentu saja hal ini sangat menarik bagi para penjelajah (untuk tidak menyebut antropolog).

Kali ini saya sengaja pergi ke Baduy seorang diri, menginap di rumah seorang penduduk Baduy Dalam di kampung Cikeusik, yang disebut-sebut sebagai kampung Baduy paling tua dan sakral. Lokasinya berada di sisi paling selatan desa Kanekes, berbatasan langsung dengan hutan larangan (konservasi) dimana di dalamnya terdapat pusaka warga Baduy. Tak seorangpun boleh masuk ke hutan keramat ini. Jalan masuk menuju Cikeusik melalui kampung Cijahe, setelah menyeberang sungai, belok ke kanan menuju Cikeusik berjalan kaki melewati jalanan tanah dan berbatu-batu. Jika dari pos di pertigaan itu belok kiri, menuju kampung Cibeo dan Cikertawana. Sepertinya dari titik Cijahe inilah paling dekat menuju kawasan Baduy Dalam.

Baduy Dalam Baduy Luar

Tuan rumah saya bernama Asip (begitulah yang saya dengar, belakangan saya baru tahu ternyata namanya Asid), berusia 53 tahun, anak 6, yang ragil perempuan, berusia 13 tahun. Anak nomor 1-3 sudah menikah, yang satu masih tinggal di Baduy Dalam, sedangkan dua lainnya tinggal di Baduy Luar karena menikah dengan orang Baduy Luar. Semula yang satu juga tinggal di Baduy Dalam, namun isterinya meninggal, lantas menikah lagi dengan orang Baduy Luar. Mustinya Asid masih memiliki dua anak lagi tapi meninggal sewaktu bayi.

Memang begitulah aturannya. Warga Baduy Dalam yang menikah dengan warga Baduy Luar, mereka harus tinggal di kampung Baduy Luar. Sedangkan warga Baduy Luar yang menikah dengan orang di luar Baduy maka mereka harus keluar dari Baduy. Namun ada pula yang menyiasati dengan memertahankan rumahnya di Baduy Luar meski dia kebanyakan tinggal di desa di luar Baduy. Hal ini dilakukan lantaran supaya masih tercatat sebagai warga Baduy. Apalagi dia menjabat anggota lembaga desa.

Perihal anak bungsu Asid itu, entah siapa namanya, satu-satunya perempuan, tidak lama lagi sudah memasuki usia pernikahan sebagaimana umumnya warga Baduy rata-rata menikah usia 15 (lima belas) tahun. Saya pernah ketemu anak Baduy Luar, laki-laki, usia 17 tahun, berulangkali didesak orangtuanya agar menikah. Tapi dia menolak. Dia mengaku masih ingin asyik bermain-main, meski teman-temannya hampir sudah menikah semua. Lucunya, ketika dia sedang asyik bermain dengan temannya, tiba-tiba teman sebayanya itu dipanggil pulang oleh isterinya. Hal inilah yang malah menguatkan niatnya untuk tidak segera menikah.

Tetapi seorang pemuda di Baduy Dalam yang saya temui malah mengaku belum menikah meski usianya sudah 21 (dua puluh satu) tahun. Mengapa? “Belum ada jodohnya,” jawabnya.

Adat yang berlaku di Baduy Dalam, pernikahan dijodohkan oleh orangtuanya. Sedangkan di Baduy Luar boleh memilih pasangannya sendiri. Maka ada saja yang terpaksa pindah ke Baduy Luar ketika menolak dijodohkan oleh orangtuanya. Aturan adat, dalam banyak hal, di Baduy Luar memang lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Dalam. Salah satunya, dilarang menggunakan peralatan teknologi dan mengambil gambar (foto, video) di kawasan Baduy Dalam. Foto yang saya sertakan sebagai ilustrasi artikel ini tentu saja di kawasan Baduy Luar.

Transportasi Asing

Kesan kuat bahwa masyarakat Baduy memang terisolasi (mengisolasi) tercermin ketika mereka menanyakan asal saya. Ketika saya menyebut Surabaya, dengan maksud lebih dikenal ketimbang Sidoarjo, namun Asid malah lebih kenal dengan (nama) kota Malang. Mungkin dia tahu ada nama kota Malang dari pengunjung yang pernah ditemuinya. Dalam banyak perbincangan selalu saja dia menganggap saya berasal dari Malang. Saya ralat, Surabaya, masih juga menyebut Malang. Ya sudah, biarkan saja.

Sampai suatu ketika dia bertanya: “Malang itu Indonesia? Masih Jokowi?”

Kesan terpencil itu juga tertangkap dari pertanyaan: “Dari sini ke Malang bisa berapa hari?”

Ternyata pertanyaan yang sama juga disampaikan oleh seorang
pemuda, tetangga Asid, ketika saya mengajaknya berbincang sambil menghangatkan badan di perapian. Dia juga bertanya asal saya, lantas saya sebut Sidoarjo, berbatasan dengan Surabaya. “Berapa lama kalau dari sini?” tanyanya.

Saya menjawabnya dengan sewajarnya saja. Saya katakan, tergantung kendaraan apa yang digunakan. Kalau naik pesawat hanya satu jam dari Jakarta. Kalau naik kereta api butuh waktu sekitar 10 (sepuluh) jam. Kalau pakai bus sekitar 12 jam. Mereka tidak berkomentar. Dari sorot mata mereka saya menangkap kesan bahwa jenis-jenis sarana transportasi yang saya sebut tadi sama sekali asing. Mereka tentu tidak pernah menggunakannya. Bahkan melihat pesawat saja juga belum pernah.

Mungkin atas nama keramahan maka salah seorang bertanya: “Kalau ke Surabaya itu menyeberang laut gak?”

Kemudian secara bergantian yang lain juga bertanya:
“Saya pernah kenal orang Bondowoso. Tamu. Jauh gak?”
“Kalau Banyuwangi itu dimana?”
“Flores?”

Sulit menjelaskan dimana letak tempat-tempat yang ditanyakan itu. Wajar saja mereka bertanya begitu. Karena mereka memang tidak pernah kemana-mana. Juga tidak tahu mana-mana. Para tamu yang pernah berkunjung ke Baduy Dalam itulah yang bercerita soal nama-nama tempat tadi. Mereka hanya membayangkan bahwa semuanya adalah tempat yang jauh, bahkan sangat jauh, yang entah berapa bulan dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Hanya dengan berjalan kakilah mereka selama ini melakukannya.
Termasuk ke Jakarta, sekitar 160 kilometer jauhnya. Jarak yang sangat dekat bagi masyarakat modern namun warga Baduy Dalam harus menempuhnya dengan berjalan kaki selama 3 (tiga) hari.

Sepertinya Jakarta sudah tidak asing bagi warga Baduy. Keperluannya macam-macam. Ada yang mengaku mengantarkan pesanan kerajinan, madu, atau hanya sekadar bertemu dengan tamu yang pernah datang ke Baduy. Selain Jakarta tentunya Rangkas Bitung, kota terdekat, juga Lebak yang menjadi tujuan ketika ritual adat tahunan bernama Seba Baduy.

Cerdas Cepat Belajar

Sore itu saya sengaja membaur dengan beberapa lelaki yang sedang duduk di sekeliling perapian. Mereka menyebutnya (pos) ronda. Aktivitas ronda ini dimulai dari pagi hari hingga sore hari. Sejenak saya heran, kok ronda malah siang hari? Bukan malam? Saya membayangkan di kampung saya sendiri, juga masyarakat kota pada umumnya, dimana ronda dilakukan malam hari.

Sedangkan di Baduy, bukankah yang ramai justru siang hari. Kalau malam, tentu gelap gulita. Tidak ada aktivitas apapun. Hanya lampu minyak kelapa yang bernyala kecil di masing-masing rumah.
Mereka membuat api dari potongan kayu yang nampaknya sengaja tidak dibuat menyala besar. Tepat di atas nyala api itu tergantung sebuah ceret berisi air untuk membuat minuman kopi yang juga ditawarkan ke saya. Dari nyala api inilah mereka yang butuh untuk menyalakan tungku di rumahnya bisa mengambilnya ke sini dengan membawa potongan kayu.

Beruntunglah Asid lancar berbahasa Indonesia, meski masih saja ada sejumlah kosa kata Sunda yang dia katakan lantaran tidak menemukan padanan dalam bahasa Indonesia. Demikian pula sejumlah warga Baduy Dalam yang saya temui. Saya gembira sekaligus cemas. Gembira karena hal itu memudahkan saya berkomunikasi karena saya memang tidak bisa berbahasa Sunda sebagaimana bahasa sehari-hari mereka. Kelancaran berbahasa itu juga menunjukkan bahwa masyarakat Baduy adalah cerdas dan cepat belajar. Mereka memang menolak sekolah tetapi tidak menolak belajar.

Tetapi dalam hati saya juga merasa was-was, karena justru kelancaran mereka berbahasa Indonesia itu merupakan indikasi bahwa budaya luar sudah merasuk sedemikian dalam. Bukankah bahasa juga membawa budaya? Seberapa jauh pengaruh bahasa itu juga mengubah atau setidaknya memengaruhi budaya masyarakat Baduy? Ah itu nanti saja, mungkin lebih cocok untuk topik karya ilmiah. Skripsi, tesis, atau disertasi? Entahlah.

(bersambung)

Avatar photo

About Henri Nurcahyo

Penulis, Ketua Komunitas Seni Budaya Brang Wetan, Pengajar Mata Kuliah Kajian Panji di Universitas PGRI Adibuana (UNIPA), tinggal di Sidoarajo.