Foto : Pexels/Pixabay
Sewaktu aktif di organisasi sosial awal 80-an, saya kenal dengan beberapa Mbak senior. Dalam segi ekonomi, hidup mereka mapan, dan mempunyai jabatan. Tapi anehnya, menurut saya, mereka seperti tidak tertarik untuk menikah.
Semula saya berpikir, mereka ingin memuaskan masa muda dengan traveling, tidak mau segera terikat pernikahan, direpoti oleh kehadiran anak, dan seterusnya.
Ternyata pikiran itu salah. Faktanya, ketika diajak mengunjungi panti asuhan si Boncel, panti werdha, atau aksi sosial lainnya, mereka sangat antusias dan fun.
Dari Mbak KT yang senior itu, saya pun paham dengan prinsip hidupnya, “saya sungguh bahagia, ketika mampu membuat orang lain bahagia.” Intinya, hidup ini untuk membahagiakan orang lain.
Salut, saya salut sesalutnya pada Mbak KT. Dalam kemapanannya itu ia dan beberapa temannya berani memutuskan hidup selibat. Artinya, hidup tidak menikah, tapi untuk melayani sesama!
Dari Mbak KT pula, saya paham, bahwa selibat itu sebuah pilihan hidup untuk tidak menikah. Idenya, terinspirasi dari gerakan Tarekat PRK (Penebar Ragi Kristus) di Bandungan, Ambarawa. PRK yang diprakasai oleh Ibu Agnes Emmy Miryam itu mempunyai tujuan untuk mengabdikan hidup anggotanya dengan menghayati triprasetya dan kerasulan sosial.
Jika hidup PRK dinafasi dengan mengucapkan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Mbak KT melayani sesama sebagai ungkapan pujian dan syukur kepada Allah.
Dengan semangat kemiskinan, jiwa ini tidak lekat dengan keduniawian. Dengan membagikan yang dipunyai itu agar hidup ini makin dimurnikan.
Gerakan yang dilakukan Mbak KT itu sebenarnya baik, bahkan sangat menginspirasi, jika ditumbuhkan di setiap hati insani. Bukan untuk hidup selibatnya itu, melainkan semangat berbagi pada sesama agar hidup kita tidak lekat dengan hal-hal keduniawian.
Sejatinya, untuk hidup bahagia itu sederhana. Dengan semangat peduli dan berbagi pada sesama, kita bahagia.
Apakah kita bahagia?!