Seide.id – Kebahagiaan dari sebuah komunitas, khususnya komunitas seniman baik itu penulis, penyair, teater, pelukis, jurnalis, penari dan seni lainnya, usai berkumpul dan bincang-bincang tentang situasi yang mereka tekuni, pulang ke rumah kreativitas mereka muncul kembali.
Karena mencari uang dari bindangnya masing-masing, membuat mereka menjadi manusia merdeka dengan karya-karyanya. Di ruang sunyi tempat mereka mengembangkan ide bersama kreativitas dari benak imaji mereka, muncul karya-karya dengan sentuhan seni dan misi kemanusiaan yang berkelas.
Mereka bukan pebisnis atau money oriented semata, namun naluri untuk berkarya lalu menunjukkan pada masyarakat dan dunia bahwa seni dan budaya juga sastra dalam hal ini literasi yang telah ada berabad-abad lalu, harus terus digali dan dikembangkan dari masa demi masa.
Dunia yang oleh sebagian orang dianggap ‘kurang kerjaan‘ karena datang jauh-jauh ke suatu tempat hanya untuk baca puisi dan tanpa bayaran pula, lalu penontonnya adalah kalangan sendiri, adalah dunia yang absurd namun tanpa disadari telah memberi kebahagiaan batin untuk memandang kehidupan dengan segala atribut keduniawian yang tak terlepas dari hedonism dan materialism.
Di situlah seni berpijak. Setiap hari berbicara tentang karya, filsafat hingga bentuk-bentuk pencaharian tentang makna kehidupan yang paling hakiki, membuat seniman adalah perenung sejati yang terus berpikir tentang keberadaan dunia dan seisinya, khususnya pada hidup kemanusiaan yang termarginalkan, manusia dengan kehidupan di titik nol.
Mereka saling berbagi baik itu dalam karya maupun minimalis materi yang mereka miliki. Mereka adalah manusia yang pasrah pada kehidupan. Berteman atau tak ditemani pada lingkup kehidupan dari sudut pandang strata atau perbedaan kedudukan berupa kelas sosial yang dibentuk oleh tatanan profesi berdasarkan jabatan, kekayaan dan status keningratan, itu tak penting.
Seniman melaju dengan karya. Para penulis tetap duduk di ruang sunyi ditemani dengan buku-buku dan wahana milenial seperti internet untuk berselancar mencari data. Mereka menghasilkan pengamatan tentang dari sudut pandang obyektif maupun subyektif. Uang penting namun tidak memperbudak mereka.
Para pelukis serius menekan imajinasi pada garis-garis ekspresif, realis maupun abstrak dan menuangkannya pada kanvas dengan puluhan warna yang diubah menjadi sebuah gambar imajinatif dan konfigurarif yang membuat siapa pun yang melihatnya akan berdecak kagum.
Sang pemain teater akan melakukan teknik blocking dengan gesture tubuh menirukan perilaku manusia di dunia ini secara alami dan jujur. Mereka adalah pemain watak sejati yang mampu menirukan segala perilaku anomali manusia melalui beragam kendali yang ada di seluruh tubuh.
Sang penyair akan membacakan puisi dengan kenikmatan kata dan pendalaman rasa dari larik-larik puisi yang dibacanya. Dia larut di dalam pemaknaan tentang beragam kehidupan kemanusiaan yang digambarkan pada kata-kata penuh ketulusan diksi juga metafora. Dari pembacaan puisi dengan narasi serta ekspresi jiwa, akan tampak empatinya pada kehidupan kemanusiaan di bumi ini.
Sang penari melakonkan seluruh kisah kehidupan melalui lenturnya gerakan tangan, kaki, mata, juga jemari, keindahan gerak tubuh yang diiringi musik juga gamelan, menunjukkan bahwa lakon kehidupan kemanusiaan bisa diperlihatkan melalui ekspresi dari seluruh pancaindera yang ada di raga.
Seni yang lainnya pun demikian. Nah, untuk menggambarkan semua perilaku kemanusiaan, baik itu tentang kejumawaan/sombong, naluri pembunuh, jahat, baik dll, mereka dapat mengaktualisasikan diri dengan parodi yang terdapat di gerak-gerak pantomin dan karya yang mereka ciptakan.
Setelah semua euforia itu berakhir, kesendirian penting dari segalanya. Kembali ke ruang sunyi berkarya dan terus berkarya hingga nafas terhenti berhembus.
Fanny Jonathan Poyk