Gue dulu punya tetangga anaknya yang masih TK sudah dipaksa menguasai tiga bahasa: Cina, Inggris, dan Indonesia. Ini modal penting buat masa depannya kelak, katanya.
Bahasa Cina langsung praktek sama bapak ibunya. Bahasa Inggris di sekolahnya. Dan bahasa Indonesia, biar sama pembantunya.
Hasilnya, sebagai anak kecil yang ngomong aja masih belepotan, jadi makin kagak jelas. Terutama dalam berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya.
Iseng-iseng gue tanyalah ke dosen gue, pengajar Pengkajian Kesusastraan Anak, yang ternyata juga paham psikologi anak.
Pertanyaan gue, “Kapan sih sebaiknya kita memperkenalkan bahasa Inggris ke anak?”
Soalnya, maklum deh, gue sendiri belajarnya telat. Sampai SMA cuma paham membaca alias Inggris pasif. Conversation? Sampai diterima kerja cuma modal nekad.
Guru gue lantas bilang begini. “Sebagai penutur asli bahasa Indonesia, sebaiknya sejak kecil biasakan mengajak anak berbahasa ibu yang baik. Bacakan cerita anak-anak berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Begitu sudah pandai membaca, ajarkan kebiasaan mengungkapkan pikirannya dengan menulis, walau cuma sebaris. Setelah bahasa Indonesia baca dan tulisnya beres, nah silakan mau dikursusin bahasa Inggris. Masalahnya, kalo seorang anak belum menguasai suatu konsep dalam sebuah bahasa dan ia sudah diberikan bahasa lain, akan terjadi kebingungan dalam dirinya.”
Dan nasehat itu di kemudian hari gue praktekin ke anak gue. Setelah bahasa ucap dan tulis bagus, kelas 4 SD baru gue masukin kursus bahasa Inggris. Selebihnya hepi-hepi belajar bahasa Inggris sambil bermain. Apakah itu lewat nonton film anak-anak. Biasanya gue beliin film-film Disney. Atau bermain videogame, yang tentu saja adanya cuma yang berbahasa Inggris.
And ndilalah, saat novel Harry Potter booming, dia tahu-tahu minta dibeliin yang edisi bahasa Inggris. Masuk SMA (Binus International School) dia sudah bisa buat karangan pendek dengan baik dalam dua bahasa. Gue sih enggak ada apa-apanya selain terkagu-kagum sama anak sendiri. Bisa ngalahin bapaknya.
Begitu kuliah dia bisa melalap buku-buku kedokteran yang sebagian besar berbahasa Inggris, tanpa keluhan. Dan selesai tepat waktu.
Kemarin gue sempat baca screenshot surat berbahasa Inggris seorang anak (berusia 11 tahun) kepada presiden yang menghebohkan itu. Isinya luar biasa. Ternyata anak itu sudah mampu menuangkan pikirannya tentang sebuah masalah besar saat ini dengan pilihan kata bahasa Inggris yang jauh melampaui usianya.
Salut dan iri banget gue sama bapak ibunya, yang bisa mencetak anak hebat sedini itu. Dan tentu saja gue lebih salut lagi sama guru bahasa Inggrisnya. Luar biasa metode mengajarnya, sehingga si anak paham apa itu lockdown. Keren.
Cuma kalo inget lagu Sore Tugu Pancoran, Iwan Fals, kok gue mendadak kasihan juga. Reffrainnya begini,
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu / Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu / Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu / Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
Sedih nih lagu.
Nah cuma gue gak tahu gimana nasib anak mantan tetangga gue itu sekarang. Soalnya selesai TK, ibunya pamit pindah ke kawasan perumahan baru (yang gue tahu rumahnya besar-besar).
Yah, moga-moga aja tuh anak sekarang lagi kuliah di luar negeri. Asal jangan lulus dari sana, pulang ke Indonesia, jadi pemimpin, dikagumi bahasa Inggrisnya, tapi gak bisa kerja. Bisanya cuma ngabisin anggaran doang. Ada lho!
Ramadhan Syukur