Ragam camilan menjelang waktu takjil – Foto Heryus Saputro Samhudi
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
SALAH kaprah dalam penyebutan kata atau istilah banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebut misalnya soal rempah yang di luar dikenal sebagai Cinnamon, dan sejak baheula umumnya orang kita mengartikannya sebagai Kayu Manis. Padahal Cinnamon (yang terasa manis itu) bukan dari kayu tumbuhan tersebut, melainkan kulit kayunya yang idealnya harus disebut Kulit Kayu Manis.
Contoh lain adalah menggunaan nama Kembang/Bunga Pala untuk rempah yang jelas-jelas tidak menggunakan bunga dari pohon pala, melainkan memanfaatkan biji buah serta fuly (serabut biji buah) pala, yang idealnya haruslah disebut sebagai Biji Pala dan Fuly Pala.
Salah kaprah penyebutan kata dalam Bahasa Indonesia, baik itu kosakata aseli ataupun unsur terapan, banyak terjadi di antara kita. Uniknya, salah kaprah penyebutan itu berlangsung dari masa ke masa bahkan cenderung bertahan hingga kini, menjadikan kata atau istilah yang salah maksud dan pengertiannya itu, justru berbalik menjadi semacam kebenaran bagi masyarakat luas.
Di Jawa misalnya, ikan berarti iwak. Uniknya kata iwak juga kerap disertakan sebagai keterangan awal dari berjenis hewan pedaging, Maka hadirlah istilah iwak kebo/kerbau, iwak sapi, iwak ayam, iwak tongkol, iwak tengiri, iwak burung ayam-ayaman, yang bila dikembalikan ke pengertian awal berarti ikan kerbau, ikan sapi, ikan tongkol, dan sebagainya.
Dalam konteks berbahasa Jawa, penggunaan kata ini lumrah. Masalah muncul saat istilah itu disusupkan ke dalam Bahasa Indonesia. Semisal Bila ke pasar jangan lupa beli iwak kebo dan iwak tuna, ya! kata Toto pada Wita, istrinya. Wita yang orang Padang dan sedikit faham Bahasa Jawa, jadi bingung akan maksud suaminya Dalam hati dia bergumam, Sejak kapan kebo atau kerbau itu dipanggil ikan?
SETIAP bulan Ramadhan, salah kaprah penyebutan kata atau istilah yang kerap terjadi adalah soal takjil yang cenderung diartikan sebagai berjenis makanan dan minuman yang biasa dijual atau disiapkan orang-seorang untuk berbuka puasa. Disadari atau tidak, kesalahan mengartikan istilah takjil ini tak cuma terjadi di kalangan awam, tapi juga dikalangan cerdik-cendikia Indonesia
Sore tadi (06/04/2022) misalnya, seorang penyiar televisi penuh semangat masih memberitakan asyiknya berburu takjil di sebuah lokasi. Kata takjil tersebut diartikan sebagai ragam makanan dan minuman yang biasa dijual orang menjelang Magrib, saat kaum muslim berbuka puasa. Padahal kita semua tahu, takjil bukan makanan dan minuman, dan itu tercantum dalam Kitab Besar Bahasa Indonesia.
Takjil memang bukan makanan ataupun minuman. Sebagaimana semua ibadah dalam Islam yang selalu berkait / berhubungan erat dengan waktu atau masa, Takjil adalah perintah ibadah kepada orang-orang yang (berkewajiban) berpuasa, untuk bersegera menyudahi puasanya hari itu, tak boleh ditunda-tunda, begitu terdengar kumandang azan (atau tiba waktu) Magrib.
Seruan atau perintah untuk segera menyudahi puasa itulah yang disebut takjil. Mengapa harus bersegera, karena takjil atau waktu untuk bertakjil amat singkat, cuma sekitar 10 menit, dari saat ‘dur’ azan Magrib hingga Iqomat, yakni waktu yang menjadi tanda bagi kaum muslim untuk mendirikan shalat Magrib berajamaah ataupun sendiri,
Takjil atau kewajiban menyudahi itu, hakikatnya bisa atau cukup dilakukan hanya dengan niat di hati, yakni “aku sudahi puasaku hari ini semata karena Allah SWT. Itu cukup dan sahih. Tapi mengingat tubuh sudah berpuasa antara lain dari lapar dan haus sejak Subuh hingga ‘dur’ Magrib, maka sangat dianjurkan bagi kita untuk menggunakan waktu takjil itu dengan minum dan makan makanan kecil secukupnya.
So, makanan dan minuman itu bukan takjil, kan? Sekarang, dengan pemaparan ringan ini, apakah kita masih tetap ngotot, bertahan pada prinsip salah kaprah dalam berbahasa, dan tetap menyebut makanan dan minuman yang marak dijual saat orang hendak berbuka puasa di tiap bulan Ramadhan itu sebagai takjil? Mulutmu harimaumu. ***
06/04/2022 PK 07:42 WIB.