Oleh RAHAYU SANTOSA
Sudah banyak karya anak negeri berupa mobil listrik. Dari siswa SMK sampai perguruan tinggi pun punya karya. Bahkan perusahan sekelas PT INKA Madiun sudah memroduksi E-Inobus yang belum lama ini sempat diujicoba di Kota Madiun.
Tapi, karya pemuda Kelurahan Kelun, Kota Madiun, ini memang beda. Kalau karya mobil listrik yang sudah ada sangat begantung dengan charger, karya pemuda Madiun ini tak perlu ngecas. Dipakai 24 jam nonstop pun OK. Tanpa perlu takut baterai tekor. Karena selain mengandalkan sumber tenaga baterai (accu), sebagai tenaga penggerak, juga ditopang tiga pensuplai energi listrik.
Semula ada dua pemuda yang punya ide itu. Mereka Oktavian Ari Wibowo alias Ariek Bondet, dan Rudiawan alias Kenton. Dari dua pemuda ini lantas ditambah satu lagi, yakni Zainudin Iskan. Mereka pun membicarakan maraknya gaung mobil listri di Indonesia. Namun mereka melihat ada sisi kelemahannya. Yakni harus ngecas saat baterai habis.
“Ini merupakan terobosan ide baru untuk mengatasi kelemahan mobil listrik yang sudah ada. Sinergi energi. Tidak hanya mengandalkan satu tenaga baterai (accu) dengan charger,” ujar Ariek Bondet, sebagai tenaga ahli.
Ketiga tenaga penggerak energi itu adalah, tenagaSel Surya, tenaga gerak roda dan tenaga panas dinamo. “Ketiga tambahan tenaga penggerak energi listrik ini, akan dapat men-supply pengisian baterai dalam kondisi berjalan,” jelasnya.
Alhasil, rangkaian prototipe ini akan lebih efisien penggunaan energi baterainya. Karena akan selalu terisi saat berjalan. “Dan, terciptalah efisiensi masa charger-nya. Ketika mobil sedang berjalan, otomatis baterai listrik (accu) akan terus terisi. Ketiganya bisa men-supply antara 50 persen sampai 75 persen. Apalagi kalau jalan di siang hari, dengan terik matahari yang kuat, akan bisa lebih maksimal pengisian accunya,” ujar Rudy Kenton, tim teknisi.
“Kalau perjalanan malam hari, supply pengisian energi listriknya bergantung dari tenaga gerak dan tenaga panas. Tapi lumayan bisa menambahpengisian,” kata Rudi lagi.
Dari Obrolan Warung Kopi
Rancangan prototipe mobil listrik ini berawal dari obrolan ketiga teman yang sedang ngopi di warung. Ngobrol soal mobil listrik yang saat ini lagi jadipembicaraan hangat setahun lalu (2019). Dari obrolan tentang kelebihan dan kekurangan mobil listrik itu, lalu timbul gagasan untuk membikin prototipe sendiri. Dengan menambah rangkaian ketiga energi tadi.
Karena dana cupet, mereka pun memilih bajay sebagai prototipe percobaan. Dengan dana seadanya, pada akhir Januari 2021 lalu, dibelilah bajay bekas dari Jakarta. ‘Harganya Rp 9 juta,’’ kata Rudy jebolan Fakultas Teknik Elektro Unibraw Malang.
Sesampainya di Madiun, bajay langsung dipermak. Mesin diturunkan, body yang bolong-bolong ditambal. Dan gearbox diambil untuk penggerak roda jugadibersihkan. Perbaikan body selesai, pengecatan pun dilakukan.
“Sementara berbagai alat yang diperlukan disiapkan. Seperti 4 buah accu, lempengan solar sel, dan alat-alat elektronik untuk dirangkai. Untuk rangkaian alat-alat elektroniknya kita carikan yang bekas. Bisa lebih murah,” ujarnya.
Proses perakitan ketiga tenaga listrik (solar sel, tenaga gerak dan tenaga panas ) itu sendiri cukup rumit. Sampai beberapa kali gagal. “Ternyata untuk menyatukan ketiga tenaga penggerak listrik itu, tidak bisa langsung mengisi ke dalam accu. Harus dibuatkan rangkaian elektronik sendiri-sendiri,” kata Ariek Bondet.
Begitu selesai, Bajay listrik pun diujicoba menempuh jarak 10 km lebih. Dengan kecepatan rata-rata 20 km/jam. Tanpa kendala. ‘’Kalau ingin cepat tinggal dinamonya ganti yang lebih besar,’’ kata Arik, jebolan STIKI (Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia) di Malang.
Setelah ditotal, proyek percobaan ini menghabiskan dana sekitar Rp 30 jutaan. “Karena semua alat yang dipasang sebagian besar merupakan barang rongsokan,” ujar Rudy
Untuk lebih menyempurnakan prototipe ini, tim sudah menciptakan rancangan sebuah alat Converter, yang dapat memperbesar arus listrik. “Sehingga diharapkan ke depan, alat ini bisa meminimalisasi pemakaian unit baterai (accu) pada mobil listrik,” kata Ariek lagi.
Sayangnya, sebagai pemuda kota kecil, kreativitas mereka ini agak tersendat, kalau tak ingin dikatakan mandeg. Semua itu selain tidak adanya perhatian dari pemerintah kota, juga tidak adanya sponsor yang bisa membantu mewujudkan impian mereka.*