Seide.id -Jauh sebelum orang-orang bule -terutama Rusia- itu resek di Bali, pada tahun ’86 seorang wartawan asal Bali bernama Putu Setia, menulis buku berjudul: “Menggugat Bali”. Isinya tentang keresahan, betapa Bali sudah “dijual” dari segala sisi, sehingga tak ada lagi dijumpai hal-hal sakral. Dan juga keresahan betapa, remaja Bali, terutama yang lelaki cuma bercita-cita menjadi pemandu wisata, supaya bisa diajak ke negri asal sang turis, baik sebagai suami atau entah apa.
Resek, rempong dan resah secara sekilas nampaknya sama saja. Yak, memang ada kesamaannya, yaitu sesuatu yang tidak menyenangkan. Tapi sesungguhnya di antara: resek, rempong dan resah, itu ada perbedaan.
Mari kita mulai dari resek. Resek adalah idiom bahasa lisan pergaulan anak milenial atau kosa kata ‘tak resmi’. Resek menurut KBBI adalah: usil dan selalu ingin mencampuri urusan orang lain. Tapi menurutku sih, resek lebih luas daripada itu. Resek itu kata, apa ya? Kata kerja?, kata sifat? atau malah kata benda?. Mungkin para ahli bahasa, nanti bisa menyimpulkan.
Resek dalam ‘bahasa anak gaul’ menurutku adalah: ketika seorang teman merasa tak nyaman dengan suatu keadaan sementara teman-teman yang lain biasa-biasa saja atau nyaman-nyaman saja. Dan ‘si resek’ ini sudah mulai ‘meneror’, mengajak teman-temannya yang lain untuk ikut resek bersamanya. Atau bertanya-tanya, kenapa temannya biasa saja dengan keadaan (yang menutut si resek) tak nyaman itu. Maka teman-temannya akan berkata: “Eh, elo resek amat sih?!” Mungkin agak mirip: blingsatan dalam dialeg Betawi.
Rempong, ketika aku ‘mengintip’ KBBI cuma diartikan: rimpung. Hlaah,…apa pula itu?. Rempong, pada sangkaku berasal dari kata repot. Repot kita semua tentu sudah tahu. Tapi rempong terkesan “lebih kolosal” (daripada tepot. Rempong bisa jadi repot itu tadi. Tapi bisa juga, berarti seseorang yang disibukkan oleh sesuatu yang seharusnya bukan urusannya. Atau keadaan yang betul-betul kacau, sehingga membuat kita kehilangan fokus, persoalan mana yang harus dibereskan terlebih dulu. Tapi orang yang ingin tahu tentang sesuatu yang bukan urusannya atau bisa juga nanti menjadi urusannya, bagi anak milenial ada istilah yang lebih spesifik, yaitu: kepo.
Nha,…kata resah memang sudah lama ada dalam KBBI. Menurut KBBI artinya: gelisah, tak tenang dan rusuh hati. Contoh: Ia kelihatan resah dan serba salah. Sebetulnya, resah sangat tak identik dengan serba-salah. Ada orang yang bisa menyimpan sedemikian rupa keresahannya, sehingga tak terlihat. Ada juga orang yang dalam keadaan tak resah,…tapi memang pembawaanya saja yang serba-salah.
Sebetulnya aku cuma ingin blanyongan tentang orang-orang Rusia yang sudah: resek, rempong dan bikin resah orang Bali.
Kalok pengantarnya kepanjangan,maap.
2-3 bulan lalu aku bolak balik ke Bali ,…gaya amaaat. Hlaah, bukan gaya-gayaan, tapi kapan lagi? mumpung tiketnya ditraktir anak-anak.
Beberapa bulan lalu, gadis bungsuku kepingin ke-Bali. Dia bekerja, mengajar bahasa Inggris secara on-line. Dari sebulan, dua bulan,…akhirnya 3 bulan. Sekarang dia sudah di Jakarta. Tetap mengajar dan sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan sekolah S2-di Utrecht (dia dapat beasiswa dari BPI).
Nha, ketika aku di Bali, beberapa kali jalan disopiri oleh teman baik. Teman ini seorang fotografer yang punya hobi olahraga, khususnya footsal. Dia menjadi salah seorang anggota team footsal yang sebagian besar orang Rusia.
Kemarin menonton berita di televisi, konon keberadaan orang-orang Rusia di Bali sudah meresahkan.
Tentu dengan mudah dapat kita duga, bahwa keberadaan orang-orang Rusia (juga Ukraina), adalah karena ke-dua negara itu sedang berperang.
Pada awalnya, orang-orang bali tentu saja senang, karena sejak pandemi sekitar 2-3 tahun, Bali sepi. “Tamu-tamu” baik domestik mau pun dari mancanegara, tak berani (tak boleh) datang.
Sopir-sopir grab yang aku ajak ngobrol, rata-rata gembira, karena pariwisata Bali sudah mulai menggeliat bahkan hidup kembali.
Yang agak membuat iri, adalah: karena para turis itu, bisa berlama-lama dan relatif bermewah-mewah di Bali. Terutama karena selama pandemi, negara-negara asal para turis itu menyarankan warganya yang sudah terlanjur pergi, untuk menetap saja dulu di negara yang dikunjungi. Sementara itu, mereka tetap di kirimi uang oleh negara masing-masing (begitulah seharusnya negara memperlakukan dan memperhatikan warga negara pembayar pajaknya). Menurut temanku, mungkin jumlahnya tak besar untuk ukuran uang mereka. Tapi jika dirupiahkan setara dengan 7-8 juta rupiah untuk 1 orang 1 bulan. Hlaah,…cukup dooong. Malah mungkin agak mewah, bukan?.
Nah sekarang, mungkin pengiriman itu (karena pandemi sudah dianggap selesai atau jauh melemah daya bunuhnya), maka kiriman itu dihentikan.
Orang-orang Rusia (dan Ukraina) di Bali, tentu datang dari strata sosial beragam. Orang Rusia yang pengusaha tajir, tentu tak menjadi masalah. Karena mereka tetap menjadi ‘tamu’ yang menyenangkan, berapa pun lamanya mereka tinggal.
Tapi, bagaimana dengan orang-orang Rusia (dan Ukraina) yang strata sosial di negaranya menengah ke bawah? Itulah menjadi masalah. Itulah yang membuat orang Bali resah!
Mereka mulai merepotkan. Menurut bli sopir grab yang aku ajak ngobrol itu: “Orang-orang Rusia itu, berterus terang,…entah kapan bisa kembali ke negaranya. Entah kapan kampung halamannya aman. Entah kapan peperangan itu selesai” (terimakasih koreksinya, pak Hendro Martono). Jadi? “Yaa,…mereka setengah memohon supaya kita bisa memaklumi keadaan mereka. Ada yang memohon keringanan untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Bahkan sampai ada yg memohon supaya dibebaskan dari biaya sekolah dan bahkan minta pekerjaan!”
Bagi yg memiliki sedikit modal dan jeli berinovasi,…mereka menjadi pengusaha. Pengusaha apa saja, terutama di sekitar pariwisata.
Nah,…inilah yang sangat meresahkan pengusaha-pengusaha kecil di Bali…
(Aries Tanjung)