Ngecipris.
Bangganya nguadubilah.
Itulah fakta, ketika kita berasa hebat, ingin menjadi yang terdepan, & tidak mau dikalahkan orang lain.
Perasaan itu sering kali muncul, spontan, dan tidak mampu untuk kita kendalikan. Ngomong tanpa titik koma. Bahkan orang lain tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Bangga itu boleh. Bangga yang berlebihan itu sombong & gila pujian. Apalagi, jika kita berasa lebih tahu & lebih faham dibandingkan orang lain.
Kebanggaan awal yang sering dimiliki oleh banyak orang, ketika belajar hal baru atau memperoleh informasi baru untuk diteruskan agar tidak didului orang lain. Berpikir bahwa informasi itu benar & akurat, hingga lupa receck keabsahan & sumber kebenarannya.
Hal itu yang sering kali membuat kita terjerumus ke jurang hoax. Kita lupa gunakan nalar untuk memfilter maupun kroscek.
Lebih daripada itu.
Apalagi jika kita belajar ilmu dari tokoh atau publik figur yang miliki berjuta pengikut. Apapun yang disampaikan seakan candu kebenaran yang tak bisa ditolak maupun dibantah.
Lalu, apa jadinya belajar tanpa gunakan logika & memfilternya dengan hati?
Dijamin kita bakal menjadi robot. Lebih celaka & berdosa, jika kita penyebar hoax dari orang yang tak bertanggung jawab. Yang hobinya mancing di air keruh. Untuk tujuan jahat.
Sekali lagi, banggakan diri sendiri itu sombong. Membanggakan orang lain itu tak ada untungnya. Bahkan rugikan diri sendiri. Kesannya, kita kurang percaya diri, bahkan mendompleng ketenaran orang lain.
Belajar keilmuan dari siapapun itu tidak dilarang, asal jangan menelan mentah-mentah & percaya 100%. Bisa juga kita cari pembanding dari ilmuwan lain, atau lewat buku. Kita gunakan logika, resapi di hati, & mohon nur Ilahi agar kita tidak salah langkah.
Ibarat belajar bermain musik, awalnya kita hanya mampu hasilkan nada ngak ngik ngok, cempreng, bahkan mungkin menyakitkan pendengaran. Telinga pun menjadi sakit.
Seiring waktu, kita mampu membentuk nada; berirama, hingga kita mampu memainkan emosi dan berimprovisasi. Kematangan berlatih & kuasai emosi hasilkan nada Ilahi. Merdu mendayu; menina bobokan jiwa.
Semakin tinggi ilmu seorang, ia semakin rendah hati. Ibarat padi, yang semakin merunduk semakin berisi. Dan jiwa yang rendah hati itu semakin tunduk merendah pada Yang Ilahi. (MR)