Penelitian dan pemetaan 2015 lalu menunjukkan potensi radikalisme di DIY. Setiap kabupaten/kota di DIY memiliki tingkat potensi radikalisme dalam bidang berbeda-beda.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
GERAKAN pembacaan kitab Al Quran di kawasan Malioboro merusak imaji khalayak tentang Kota Jogya sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar. Jogya juga bukan Kota Agama, bukan Kota Islam meski tidak anti agama dan anti Islam.
Jogyakarta memang tempat kelahiran gerakan Muhamadiyah, Islam moderat. Dari kota ini tampil tokoh-tokoh Islam kaliber nasional yaitu KH. Ahmad Dahlan, A.R. Fachruddin dan Bagoes Hadikoesoemo. Namun mereka tidak pamer Islam di jalanan.
Aksi baca al Quran di jalanan menunjukkan kebangkitan sektarianisme Islam bahkan radikalisme – yang bibit bibitnya sudah berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) – beberapa tahun terakhir.
Pamer kealiman dengan membaca Al Quran di area wisata juga bukan ciri warga Jogja. Filosofi Jawa Jogya adalah “sakmadyo” yaitu tidak suka menonjolkan diri. Tidak pamer.
Pamer baca Quran di Malioboro merupakan agresi peradaban asing yang perlu diwaspadai.
TAHUN 2018 lalu, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DI Yogyakarta melakukan penelitian dan pemetaan yang menunjukkan potensi radikalisme di DI Yogyakarta.
“Setiap kabupaten/kota di DIY memiliki tingkat potensi radikalisme dalam bidang berbeda-beda,” ujar Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY, Muhtasar Syamsudin di sela acara Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme, di Hotel Crystal Lotus, Jalan Magelang Km 5,2, Sleman, Rabu (21/3/2018), sebagaimana dilaporkan laman Kumparan.
Syamsudin mengungkapkan, pihaknya pada tahun 2015 melakukan penelitian dan pemetaan yang menunjukkan potensi radikalisme di DIY. Setiap kabupaten/kota di DIY memiliki tingkat potensi radikalisme dalam bidang berbeda-beda.
“Seperti isu khilafah yang tinggi di Kulon Progo, penegakan syariah di Gunungkidul, gerakan masif fundamental di Sleman, kalau di Kota Yogyakarta plural, tak bisa diidentifikasi. Jadi ada kecenderungan narasi radikalisme di setiap kabupaten/kota,” jelasnya.
Forum yang sama pernah tiga kali survei soal radikalisme dengan topik berbeda. Satu dari tiga survei yang dilakukan 2013 terkait pemikiran dan sikap keagamaan yang berkembang di DIY.
Survei tersebut menyimpulkan sebagian masyarakat masuk kelompok militan. Penjelasan militan ini yakni, salah satunya menyebut pihaknya lain yang berbeda keyakinan sebagai “kafir”.
Adapula kelompok militan yang menerapkan toleransi bersyarat.
WARGA Jogya bukan abai terhadap meresapnya paham Islam militan pro khilafah di kota kebanggaannya.
Awal maret lalu, Koalisi Masyarakat Anti Radikalisme (KOMAR) menggelar Aksi Damai di Tugu Pal Putih Jogja (Tugu Golong Gilig) di Jalan Jenderal Sudirman, Gowongan, Jetis, Yogyakarta, Senin (7/3/2022).
Dalam massa aksi tersebut, puluhan orang menyerukan dan mengajak masyarakat DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) untuk melawan dan mewaspadai segala bentuk Radikalisme yang bisa mengikis kerukunan antar umat beragama, merusak tatanan kehidupan sosial, dan mengganggu stabilitas Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
“KOMAR juga siap bersinergi dan mendorong aparat penegak hukum untuk secara tegas menghentikan dan melarang segala bentuk penggalangan dana sosial dan penarikan infak melalui kotak amal ilegal yang mengatasnamakan kemanusiaan, agama, solidaritas, maupun bencana alam padahal itu sejatinya untuk membiayai penyebaran paham Radikal dan mendukung gerakan Terorisme,” ujar Koordinator Aksi, Irmansyah dengan lantang.
DI TENGAH sulitnya memproses pendirian rumah ibadah non muslim pamer ngaji di jalanan Jogya jelas menyakitkan umat ibadah lain.
Bagaimana kalau di hari Minggu sepulang gereja warga Kristen dan Katolik demo baca al kitab Injil di seantero Malioboro? Meski tak mungkin – karena tidak mencerminkan watak kristen dan katolik Jawa – tapi kita membayangkan reaksi kaum militan Islam di kota ini.
Militan Jogya kini meniru kadrun Jakarta yang menjadikan jalan raya sebagai tempat ibadah dan tempat shalat. Masjid dan mushala untuk sarana agitasi dan cuci otak. Sedangkan baliho sang imam dijadikan sesembahan.
Jogyakarta menuju kemunduran peradaban! **