Setiap alaram berbunyi, lelaki itu keluar, membuka pintu dan selalu didapatinya seorang bayi mungil dalam kotak kardus. Seperti sebuah paket dari surga entah siapa pengirimnya. Isinya selalu bayi yang ditinggalkan ibunya ( Foto:NasDaily)
Setiap kali alarm itu menyalak, lelaki baya itu segera tergopoh-gopoh ke arah sumber suara yang datangnya dari kotak dalam dinding rumahnya.
Dengan setengah merunduk lelaki itu membuka kotak. Didapatinya seorang bayi dalam gedongan, lalu didekapnya penuh cinta.
Ada keharuan menusuk-nusuk jiwa. Tapi, luka itu segera sirna manakala ia melihat wajah polos bayi tanpa dosa itu.
Apalagi senyum ajaib dari bayi itu seakan memohonnya dengan tulus: “cintailah aku!”
“Wahai, siapa gerangan Ibu yang tega membuang bayi ini?”
Pertanyaan usang itu terus menerus menggedor kesadaran jiwanya untuk berani menerima kenyataan pahit itu. Bahwa adat setempat di mana ia tinggal tidak menerima orangtua tunggal.
Ibu-ibu bayi itu takut hukuman dari masyarakat. Bukan hanya cibiran, hinaan, diremehkan, atau pekatnya aib yang ditanggung Ibu itu. Melainkan nasib dan hukuman bagi Ibu itu yang dikucilkan masyarakat!
Bayi-bayi tanpa dosa menggugat realita, tanpa daya. Tangisnya merobek semesta, tapi telinga dan mata hati manusia itu tak kunjung melihat atau mendengar. Berjuta orang pun tidak peduli kehilangan hati nurani…
Sekiranya bayi mungil nan cantik atau ganteng itu tidak diharapkan dan dianggap aib, kenapa benih cinta atau keisengan itu disemai dalam rahim?
Tidak seharusnya bayi-bayi mungil dan tanpa dosa itu disalahkan atau dikambing-hitamkan. Lalu ditinggal di RS, dibuang di pinggir jalan, atau tempat pembuangan sampah.
Adalah lelaki baya itu yang berani menggugat lingkungannya sendiri. Ia tidak melawan, tapi ia memiliki hati yang berempati, peduli, dan mengasihi bayi-bayi yang kurang beruntung itu. Ia merawat bayi itu untuk nantinya diserahkan ke panti-panti asuhan.
Lelaki itu, seorang biarawan Katolik yang tinggal nun jauh di seberang lautan sana. Setiap kali memungut bayi di jalanan atau kotak di dalam tembok rumahnya, seakan ia melihat bayi kecil Yesus yang lahir di Palungan.
BACAAN LAIN
Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia