Basa Basi Demokrasi Pemilu – Tirai Kejahatan Orde Baru

Seide.id – Pemilihan Umum (Pemilu) di masa Orde Baru di Indonesia, yang dipimpin oleh Soeharto, menjadi panggung sandiwara demokrasi yang nyaris tak bermakna. Meskipun diberi label sebagai proses partisipatif dan inklusif, kenyataannya adalah rangkaian tindakan manipulatif dan kecurangan sistematis demi menjaga kekuasaan rezim. Untuk memahami lebih dalam, mari kita telaah berbagai strategi kecurangan yang meresap dalam Pemilu tersebut, yang melibatkan kendali militer dan aparat keamanan, manipulasi politik terhadap partai politik dan birokrasi, penggalangan massa dukungan melalui organisasi yang tunduk pada rezim, serta pembelokan terhadap ideologi Pancasila sebagai fondasi negara.

Kendali Penuh terhadap Militer dan Aparat Keamanan

Soeharto menjaga kekuasaannya dengan merajut keterlibatan militer dalam politik. Tentara bukan sekadar alat pertahanan, tetapi juga alat intimidasi terhadap siapa pun yang berani menentang rezim. Dengan memonopoli kendali militer, Soeharto mampu menjaga kestabilan rezimnya. Selain itu, aparat keamanan, termasuk kepolisian dan intelijen, berfungsi sebagai mata-mata dan alat pengawas, memastikan bahwa setiap bentuk perlawanan dapat ditangkap dan dihancurkan sebelum berkembang.

Rezim Orde Baru melakukan tindakan intimidasi dan pembungkaman terhadap mahasiswa, terutama di kampus-kampus perguruan tinggi yang dianggap sebagai tempat perlawanan intelektual. Mempergunakan kekuatan aparat keamanan melakukan serangan terhadap kampus UI, IPB, ITB, dan UGM menjadi contoh nyata bagaimana kebebasan akademis dan ekspresi dikekang oleh rezim. Penangkapan dan serbuan ke kampus-kampus tersebut menjadi alat untuk memadamkan suara kritis mahasiswa terhadap pemerintah.

Selanjutnya rezim Orde Baru melangkah lebih jauh dengan memberlakukan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Aturan ini bertujuan untuk membuat mahasiswa menjadi apolitik dan menghilangkan semangat perlawanan politik. NKK menciptakan lingkungan kampus yang terkontrol secara ketat, di mana diskusi politik dihambat, organisasi mahasiswa yang kritis dihancurkan, dan mahasiswa diarahkan untuk menjadi pasif terhadap isu-isu politik.

Hal yang serupa yaitu intimidasi hingga penculikan juga dilakukan terhadap aktivis-aktivis prodemokrasi, hingga berbagai tindak pelanggaran HAM dalam mengamankan hasil Pemilu selama rezim Orde Baru.

Manipulasi Politik terhadap Partai Politik dan Birokrasi

Soeharto memanfaatkan kekuasaannya untuk mengontrol partai politik dan birokrasi. Partai politik yang tidak sepaham dengan kebijakan rezim dapat dihancurkan atau dibubarkan dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Salah satu contoh nyata adalah intervensi Suharto dalam penetapan ketua umum partai politik. Soeharto secara aktif campur tangan dalam menetapkan kepemimpinan partai politik, termasuk Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Penunjukan ketua umum ini didasarkan pada loyalitas kepada rezim, bukan pada proses demokratis internal partai.

Sebagai contoh, pada tahun 1978, Soeharto turut campur dalam pemilihan ketua umum PPP dengan menetapkan Djaelani Naro sebagai ketua umum. Tindakan ini bertujuan untuk menempatkan sosok yang setia pada rezim dan mengendalikan arah partai sesuai kehendak penguasa.

Pada tahun 1996, terjadi peristiwa kontroversial yang dikenal sebagai tragedi Kudatuli melibatkan adu domba dalam pengangkatan ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Saat itu, Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi diusung sebagai calon ketua umum PDI dalam kongres partai. Soeharto secara aktif terlibat dalam menciptakan ketegangan di dalam partai dengan tujuan mengamankan pemilihan yang sesuai dengan kepentingan rezim.

Upaya adu domba ini mencapai puncaknya ketika Megawati dan pendukungnya disingkirkan melalui manipulasi proses pemilihan di Kongres PDI. Tindakan ini kemudian memunculkan protes dan kekecewaan di kalangan pendukung Megawati, menciptakan ketegangan politik yang berkepanjangan dan memberikan gambaran nyata tentang manipulasi politik yang merajalela di tingkat partai politik di bawah rezim Orde Baru.

Pembelokan Pancasila, Penggalangan Massa Dukungan, dan Manipulasi Hasil Suara

Manipulasi hasil suara menjadi permainan kunci dalam memastikan kemenangan rezim. Soeharto dan kelompoknya menggunakan aparat pemerintahan untuk mengarahkan suara rakyat, dengan mengintimidasi pemilih dan menciptakan ketidaktransparanan dalam proses penghitungan suara. Pemalsuan surat suara, pemungutan suara yang tidak adil, dan pengaturan pembagian kursi di tingkat lokal menjadi praktik umum.

Seiring dengan manipulasi hasil suara, Soeharto juga menjalankan kampanye penggalangan massa dukungan melalui organisasi massa yang tunduk pada rezim. Golkar, Pemuda Pancasila, dan organisasi massa lainnya menjadi alat untuk menciptakan citra positif rezim, mengumpulkan dukungan melalui kegiatan sosial, kemanusiaan, dan propaganda politik.

Selain itu, ideologi Pancasila yang seharusnya menjadi panduan moral negara mengalami pembelokan. Soeharto dan kelompoknya mengubah interpretasi nilai-nilai Pancasila sesuai dengan kepentingan politik, menonjolkan keadilan sosial dan demokrasi, tetapi sering mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan individu. Pancasila, yang seharusnya menjadi landasan untuk menghormati keberagaman dan mempromosikan keadilan, diubah menjadi alat untuk membenarkan dan melegitimasi tindakan rezim.

Dengan begitu, Pemilu di masa Orde Baru tidak dapat dianggap sebagai instrumen yang mencerminkan demokrasi sejati. Fasad demokrasi semata menjadi ajang basa-basi, sementara kecurangan dan tekanan terhadap oposisi, manipulasi hasil suara, penggalangan massa dukungan melalui organisasi yang tunduk pada rezim, dan pembelokan ideologi Pancasila memastikan agar kekuasaan Soeharto dan rezimnya tetap terjaga. Dinamika kejam ini melibatkan penggunaan militer, manipulasi politik, kendali terhadap partai politik dan birokrasi, serta penggalangan massa dukungan melalui organisasi yang tunduk pada rezim. Inilah bayangan gelap dari “demokrasi” Orde Baru di Indonesia.

Dengan berkaca pada sejarah berlangsungnya basa-basi demokrasi serta kepura-puraan dalam proses Pemilu di masa Orde Baru, maka tentu perjuangan bangsa Indonesia pada masa Reformasi yang bertujuan untuk mengkoreksi alur proses demokrasi, tidak menginginkan sejarah kelam terulang kembali terlebih menjelang Pemilu 2024 guna memperkuat perjuangan negara bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Dan tentunya Partai Perindo mengajak kepada seluruh komponen masyarakat untuk terus berjuang dengan konsisten dalam mewujudkan demokrasi secara utuh dan tetap dalam koridor konstitusi dengan santun dan penuh kerukunan antar sesama rakyat Indonesia.

Penulis: Jeannie Latumahina.
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Perindo

Menyoal Debat Capres-Cawapres Dengan Format Baru Pilpres 2024

Avatar photo

About jeannie latumahina

Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo