Seid Semua yang menjadi pelanggan bebatuan Pak Tjondro meyakini kalau pria berbadan gempal dengan perut menonjol ke depan itu adalah ahli batu yang sangat piawai dengan ‘perbatu akikan’, artinya dalam sekali lihat ia sudah tahu kualitas batu yang akan dibelinya. Apakah batu itu kualitas nomor satu, asal-usulnya, palsu atau tidak, dan lain sebagainya. Menyebut nama Pak Tjondro saja, di Gang Petir tempatnya tinggal, seluruh penduduk di situ pasti akan mengantar tamu-tamu itu ke rumahnya.
“Pokoknya, rumahnya yang ada lukisan batu jenis bacan yang besar sekali, Pak.” Bilang penduduk bila ada tamu asing yang mencari alamatnya.
Pak Tjondro sendiri sebenarnya tidak mentahbiskan dirinya sebagai ahli berbagai jenis batu di Gang Petir itu. Kisah suksesnya terendus dan menguap dengan cepat tatkala ia menjual sebuah batu yang diberi nama ‘ruby star’ ke seorang pejabat pemerintah. Sebelumnya ia hanya penggemar bebatuan saja. Di rumahnya yang ‘nyentrik’ yang menurutnya bergaya ‘amburadul’ itu, temboknya penuh ditempeli bebatuan, jenisnya beragam ada batu hati ayam, palimanan, pancawarna juga batu kali yang ditatanya sedemikian rupa sehingga mirip rumah gua dalam kisah Flinstone.
Bentuk rumahnya yang unik ini dan ditambah dengan koleksi bebatuan yang tak terhitung jumlahnya itu, akhirnya membuat ia terkenal dan dijuluki “Pak Tjondro Batu Akik”. Sang empunya julukan hanya senyum-senyum saja. Untuk menguatkan julukan tersebut, ia mengubah penampilannya. Mulai memanjangkan jenggot dan rambut dan kemana-mana selalu mengenakan sarung dengan motif kotak-kotak berwarna dasar hitam. Untuk penampilannya ini sang isteri kerap menyindirnya, “Aduh Pak, kamu mau nyaingi para cenayang yang suka muncul di TV? Untung sudah pensiun dari PNS, coba kalau tidak, kamu sudah dianggap orang setres.”
Pak Tjondro cuma nyengir. Ia tahu ucapan isterinya yang sintal dan awet ayu itu, hanya untuk bercanda saja. Bila hasil penjualan batu yang bernilai puluhan hingga ratusan juta ia dapatkan, isterinya yang ‘bahenol’ itu akan menerima uang tersebut dengan senyum ‘sumringah’ bercampur garang. Secara terselubung, sebenarnya yang menguasai keuangan hasil penjualan beragam jenis batu adalah sang isteri. Tapi untuk menentukan harga batu tidak. Pak Tjondro memiliki kebebasan untuk menentukannya dan ini harus dipatuhi isterinya. “Bebatuan ini memiliki kadar dan kualitas yang berbeda-beda, jadi Ibu tak usah ikut campur,” katanya selalu jika isterinya ikut nimbrung bila ada tamu pembeli batu.
Maka suatu hari, ketika Pak Tjondro melihat sebuah batu yang tergeletak begitu saja di teras depan rumahnya, ia dan isterinya terkejut. Batu itu besarnya sekepalan tangan orang dewasa, kotor penuh tanah dan berlumut. Tiap sisi bergerigi persis seperti batu karang. Pak Tjondro masih menerka-nerka apa jenis batu yang datangnya dengan misterius itu ke teras rumahnya. Meski ia ahli soal batu, tapi batu yang ia temukan kali ini sangat membingungkan.
“Kau belum tahu apa nama batu ini, Pak?” tanya sang isteri.
“Belum. Ini bukan batu hati ayam, siam atau red borneo. Bukan pula duri bulan, delima naga, pandan suci, siwalan naga atau Akik Pacitan yang misterius itu!” Sahut Pak Tjondro. Ia membolak-balik batu itu dan menelitinya dengan cermat.
“Tapi apa motifnya orang menaruh batu ini di sini, tak ada pesan apa pun pula?” isterinya mengerutkan kening.
Pak Tjondro mengangkat batu itu dengan hati-hati. Air masih menetes perlahan, rupanya batu ini direndam cukup lama. Ia memperhatikan strukturnya dengan seksama. Keningnya mengernyit. Kemudian ia melap batu itu dengan kain flannel lembut yang selalu tersedia di saku baju kirinya. Beberapa saat ia berteriak, “Astaga Bu! ini kalau digosok akan menjadi batu bacan doko yang mahal. Tapi siapa yang mengirim batu ini ke sini?”
Hening. Suami isteri itu menatap batu karang yang diyakini batu bacan doko itu dengan sengkarut pikiran yang berlalu lalang di benak mereka. Pagi bergulir dengan perlahan. Mahatari mulai tertutup awan, mendung sudah mulai menggiring angin yang menyusup ke celah pori. Suami isteri ini tetap menyimpan tanya di benak mereka, siapa yang mengirim batu yang diduga bacan doko di pagi yang mendung ini?
“Apakah kau akan menggosoknya?” tanya sang isteri.
“Entahlah, dia harus dipotong dulu menjadi beberapa bagian. Kutaksir jika dipotong, batu karang ini akan menjadi sepuluh buah. Batu ini bisa menjadi liontin atau batu cincin. Aku harap dugaanku tak salah, ini bacan doko.”
“Nanti jika sudah jadi batu bacan doko yang bersinar, bagaimana kalau ada orang datang lalu mengakui benda ini miliknya, Pak?”
“Itulah yang sedang kupikirkan.”
Mereka diam.
Sore ketika hujan turun dengan lebat dibarengi gelegar petir di gang yang juga bernama Petir itu, Pak Tjondro dikejutkan dengan kedatangan seorang lelaki berseragam biru kehitaman ke rumahnya. Lelaki itu datang sendirian, wajahnya tegas berbentuk empat persegi, berambut cepak. Ketika bersalaman, Pak Tjondro merasakan ada genggaman yang kuat di telapak tangannya. “Saya Yitno, ajudan seorang pejabat di negeri ini. Bapak tahu kan siapa beliau?” tanyanya sembari membisikkan nama seseorang dibarengi dengan segaris senyum tipis dari bibirnya yang coklat kehitaman.
“Siapa dia ya?” Pak Tjondro mengernyitkan dahi. Isterinya mengekor di belakang.
“Ah, masak Bapak tidak tahu?”
“Benar saya tidak tahu, saya lebih banyak mengurusi bebatuan ketimbang mengenali orang-orang penting di negeri ini. Sungguh.” Ulangnya.
Lelaki berseragam dengan wajah kuat itu menatap tajam Pak Tjondro. Ada nada ketidakpercayaan di sorot matanya. “Baiklah, jika Pak Tjondro tidak tahu, saya menyampaikan pesan Bapak, beliau ingin batu yang Bapak pegang itu, dibentuk, dan dipoles hingga mengkilap sekilap-kilapnya. Jangan dipotong menjadi batu cincin, biarkan dia seperti apa adanya.”
“Apakah majikan Bapak tahu nama batu ini?” pancing Pak Tjondro.
“Bacan doko!”
Hm…benar, pikir Pak Tjondro. Ia memutar-mutar batu itu dan menelitinya dengan cermat. “Maaf, kalau boleh tahu, hendak dijadikan apa batu ini?”
“Entahlah, nanti jika sudah selesai dipoles, saya ke sini lagi dan beritahu Bapak akan dijadikan apa batu tersebut. Ini tanda jadi pemrosesannya.” Ujar lelaki berwajah persegi itu sambil menyerahkan amplop berisi uang. Ketika lelaki itu pergi, Bu Tjondro secepat kilat mengambil dan menghitung jumlahnya.
Setelah batu bacan doko itu selesai dipoles, bentuknya bulat lonjong seperti telur ayam. Batu itu mengkilap, bening mirip kristal. Sembari menggosoknya lagi dengan kulit khusus, guratan-guratan yang ada di batu mulai menonjol menyerupai lukisan abstrak yang sarat makna. Lelaki paruh baya ini tampak makin penasaran. Ia seolah menemukan teka-teki yang harus dipecahkan melalui guratan-guratan batu bacan doko itu. Tiba-tiba, ketika memasuki tahap fisnishing, Pak Tjondro terkejut. Ia menaruh batu itu di atas kain flannel dengan tangan gemetar. “Ibu…kemari!” panggilnya pada sang isteri.
Tergopoh-gopoh isterinya yang sintal itu menemui suaminya. “Ada apa, Pak?”
“Lihat gambar ini, ini gambar yang tidak biasa di batu bacan doko. Tiap detik, tiap menit ia menunjukkan guratan-guratan yang semakin jelas. Duh, bagaimana ini, Bu?”
“Gambar apa sih, Pak? Kau ini mulai berkhayal yang aneh-aneh saja. Di batu ini hanya ada guratan-guratan dengan garis yang membingungkan.”
“Bu, coba lihat dengan teliti, gambar ini mengarah ke satu garis, garis di mana telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Secara tidak langsung, kita telah menjadi saksi dari gambar yang ada di batu ini. Lihat, di garis tengah itu dilukiskan gambar wanita dengan warna merah darah. Sepertinya perempuan itu tewas dengan leher hampir putus. Mengerikan Bu, sungguh mengerikan. Bu, aku takut jika lelaki berambut cepak itu kembali besok. Dia pasti akan mengorek sekaligus mencari tahu tentang gambar yang ada di batu bacan doko ini!” Pak Tjondro terlihat cemas. Isterinya berangsur-angsur mulai termakan penjelasan suaminya. Ia meneliti lebih cermat gambar yang ada di batu bacan doko itu.
“Astaga. Benar Pak, guratan itu melukiskan tubuh seorang perempuan yang terbaring dengan leher terputus. Waduh, bagaimana ini? Dan lelaki yang membawa batu ini, kurasa, dia, dia, aah… Pak, bagaimana kalau dia penembak jitu yang akan membantai kita setelah dia mengambil batu ini? Nyawa kita ada di ujung tanduk.” Khayalan sang isteri mulai mengikuti suaminya, liar dan mencekam.
Sepasang suami isteri ini membisu. Mereka sedang merancang apa yang akan dilakukan bila lelaki bertubuh gempal itu datang. Keesokkan harinya, keduanya menunggu di teras depan rumah mereka dengan jantung berdebar. Pak Tjondro semakin cemas sebab batu bacan doko itu terus memperjelas gambar perempuan dengan leher terputus.
Keesokkan harinya, Gang Petir geger. Pak Tjnodro dan isterinya raib tanpa bekas. Lelaki berwajah tegas dengan rambut cepak yang datang ke rumahnya, hanya menemukan batu bacan doko yang sudah dipoles itu di atas meja marmer di teras depan rumah pasangan suami isteri ini. Para tetangga yang ditanyai tentang keberadaan mereka, menggelengkan kepala. Rumah itu benar-benar sepi, yang ada hanya seorang pembantu dan seorang bapak berusia enam puluh tahun yang bertugas mengurus bebatuan milik majikannya.
“Saya minta nama saya jangan disebut. Benar pejabat itu telah membunuh isteri mudanya dengan memotong lehernya. Ini bukti-buktinya!” Pak Tjondro menyerahkan bukti-bukti pembunuhan yang ia kumpulkan selama berbulan-bulan pada Kombes Rudy Irwanto, sahabat sekaligus pelanggan batu akiknya sejak puluhan tahun yang lalu.”
“Bukti ini akurat?” tanya Kombes Rudy.
“Bapak bisa buktikan sendiri.”
“Dari mana Pak Tjondro tahu awal pembunuhan itu?”
Lelaki paruh baya itu tersenyum getir. Ia menatap cincin batu bacan yang berhasil dipotongnya sedikit dan dijadikannya perhiasan di jari manisnya. Tidak, bukan dari gambar cincin ini aku mengetahuinya, geleng Pak Tjondro. Tapi…
“Dari mana, Pak?”
“Perempuan itu mantan kekeasih saya…tapi sssttt… jangan bilang-bilang isteri saya ya…”
Dua lelaki ini tersenyum penuh arti.
Ketika pejabat penting itu berhasil ditangkap, Pak Tjondro dan isterinya menatap televisi tanpa berkedip. Kisah yang sama tentang nasib perempuan yang ingin hidup senang tanpa kerja keras, terulang kembali. Simpanan pejabat yang minta dinikahi secara sah, buka mulut dan berniat membocorkan semuanya di media masa. Perempuan itu sudah lelah menjadi isteri yang tak jelas statusnya. Ia ingin diakui sebagai perempuan yang bermartabat, yang eksistensinya sebagai perempuan terlihat melalui kehidupan sosialita dengan kelas menengah ke atas. Pak Tjondro menatap tubuh dengan kepala terpisah itu tanpa kedip. Nastiti, mengapa harus begitu akhir ceritanya? tanyanya lirih tanpa suara.
“Gambar di batu bacan doko itu, terbukti ya, Pak.” Ujar isterinya.
Pak Tjondro membisu.
Oleh: Fanny Jonathan Poyk