Batu Kokoh Dari Pangandaran

Herman Widjaja

Seide – Sejak dulu saya teratarik dengan batu. Tahun 60-an jalan di depan rumah saya yang dibangun pemerintah kolonial Belanda, dilapisi oleh batu-batu besar, sehingga kendaraan berat saat itu sudah bisa melaluinya. Saat saya duduk di Sekolah Dasar, saya harus melewati jalan dari rumah ke sekolah melewati jalan berbatu-batu itu sejauh 3 kilometer setiap hari, sendirian!

Untuk mengusir rasa sepi – waktu itu jarang sekali orang maupun kendaraan yang lewat – saya selalu memperhatikan batu-batu yang bentuknya berbeda satu sama lain. Saat itu saya sudah memiliki kesadaran, bahwa Tuhan menciptakan benda-benda atau mahluk, berbeda-beda. Sejak jaman Menara Babel, menusia ingin menyeragamkannya, walau sia-sia, karena Tuhan mengacaukan manusia melalui bahasa yang berbeda-beda.

Ketika saya pindah ke kampung yang jalannya tidak bisa dilewati mobil, juga dilapisi oleh batu-batu koral yang diambil oleh dari sungai Ciliwung, ketika warga melakukan kerja bakti. Aspal dan adukan pasir bercampur semen belum digunakan ketika itu, kecuali untuk membangun rumah. Masih mudah mengambil batu di sungai Ciliwung. Orang-orang tua banyak mencari bahan batu akik.

Menurut cerita orangtua, Sungai Ciliwung dulu bisa dilayari oleh perahu dari hulunya di wilayah Bogor, hingga ke hilirnya di Jakarta.  Suatu hari perahu yang ditumpangi oleh keluarga Kerajaan Pajajaran yang membawa muatan batu-batu akik dan batu mulia, terbalik, sehingga di Ciliwung saat itu masih mudah ditemui bahan-bahan batu akik. Kerbanyakan jenis Badar, Kinyang, Cempaka atau batu-batu yang tidak terlalu mahal harganya. Sesekali pencari batu menemui Biduri Bulan. Jangan-jangan batu mulianya sudah dikeruk oleh Belanda. Ha.ha..!

Karena kesukaan terhadap batu itu saya mengkoleksi beberapa jenis batu, baik yang berbentuk batu cincin, arca kecil atau batu biasa yang saya ambil dari suatu tempat sebagai pengingat bahwa saya pernah mengunjungi tempat tersebut. Antara lain batu dari Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. 

Bila ke suatu daerah atau luar negeri, saya akan mendatangi tempat-tempat bersejarah yang ada kaitannya dengan batu, seperti Kubur Batu purbakala (Waruga) di Sulawesi Utara, melihat kota-kota tua, candi atau benteng-benteng yang dibuat dari batu. Saya mengaggumi bagaimana nenek moyang manusia jaman dulu mampu membuat batu menjadi karya seni atau bangunan-bangunan yang indah. 

Meski sering disepelekan, batu, menurut saya, batu adalah ciptaan Tuhan yang luar biasa. Melalui batu Tuhan memberi kehidupan, kemegahan, sekaligus bencana bagi manusia.  Bukankah Allah menuliskan 10 perintahnya yang diberikan kepada Musa di atas lempengan batu?

Pada jaman praaksara, sebelum era industri, manusia menggunakan batu sebagai perkakas, sehingga manusia menyebutnya sebagai Zaman Batu. Kemudian Zaman Batu dibagi lagi menjadi empat : Zaman Batu Tua (Palaeolitikum), Zaman Batu Tengah (Mesolitikum), Zaman Batu Muda (Neloitikum) dan Zaman Batu Besar (Menhir), sesuai dengan perubahan perilaku manusia.

Negara yang memiliki peninggalan purbakala dari batu atau mampu memanfaatkan batu, terus memperoleh penghasilan yang tiada putusnya, selagi batu-batu itu masih ada. Kita lihat saja peninggalan purbakala atau di masa kerajaan-kerajaan bertumbuh di seluruh dunia, bangunan-bangunan dari batu yang dibuat untuk berbagai keperluan ketika itu, saat ini menjadi sumber divisa bagi negara-negara yang memilikinya. Bangunan-bangunan batu itu kini tujuan wisata bagi manusia-manusia modern.

Di Mesir ada piramida; Coloseum di Roma, Italia; Kota tua Angkor Thom dan Candi Angkor Wat di Kamboja; berbagai candi di Jawa; benteng-benteng peninggalan Belanda di berbagai daerah di Indonesia; Mancu Pichu di Peru; Diocletian’s Palace, Kota benteng di Split, Kroasia; Basilica Santo Petrus di Vatican; Masjid Al Aqsa di Jerusalem, Kabah di Mekah, Aya Sophia di Istambul, dan banyak lagi… 

Dari batu pula negara-negara di Afrika seperti Angola, Sierra Leone, Zimbabwe, Kongo, kemudian Australia, dan Kanada memperoleh penghasilan yang besar. Tetapi bukan sembarang batu, melainkan jenis intan dan berlian yang mahal harganya. Kota Martapura di Kalimantan Selatan juga pernah dikenal sebagai penghasil intan, tetapi kapasitasnya sedikit dan masih berupa tambang rakyat.

Ada lagi satu jenis batu yang membuat segelintir orang di Indonesia menjadi kaya raya: batubara! Sampai saat ini batubara masih terus dikeduk, sambil menciptakan kerusakan alam dan ancaman bencana di Kalimantan!

Sebuah batu yang sangat berharga saat ini dimiliki Indonesia. Tetapi tidak banyak orang yang memperhatikannya. Karena layaknya sebuah batu, sekalipun tergolong mulia, jika tidak dipoles dan orang tidak mengenalnya dengan baik, tidak dihargai.  Batu yang satu ini hidup, bernyawa, memiliki kepedulian terhadap bangsa dan negara.

Mungkin bagi sebagaian orang, batu yang satu ini tidak menarik, membuat tidak nyaman, dan bisa menjadi batu sandungan! Itulah sebabnya, dia yang pernah membuat gebrakan-gebrakan fenomenal ketika berada di dalam kekuasaan, kemudian ditinggalkan (atau di minta ke luar dari rombongan) ketika rombongan meneruskan perjalanan.

Beberapa hari lalu saya berjarak sangat dekat dengan beliau. Saya memperhatikannya dengan seksama, mulai dari gesture hingga kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya. Dia memang sebuah batu yang sangat keras. Tak peduli riak gelombang menghajarnya atau tukang bangunan membuangnya ketika merasa tidak dibutuhkan. Akan tetapi ada sisi yang mungkin tidak banyak diketahui orang: dia mudah sekali mencair ketika melihat ketidaadilan; orang-orang sebangsanya kalah dalam kehidupan.

Kompleks bisnis dan tempat tinggalnya yang luas di Pangandaran dijadikan dapur umum untuk memberi makan 50 ribu korban bencana alam di Pangandaran tahun 2006; ia sengaja membayar harga dua kali lipat ketika membeli ikan dari pedangang bakulan, agar bisa membantu mereka. Tentu banyak lagi perbuatan baik  dilakukan untuk masyarakat, yang tidak diceritakan.

Kepada karyawannya dia bukanlah bos yang otoriter. Bila ada pekerjaan yang kurang pas, dia memberi solusi apa yang harus dilakukan. Hanya tamatan Sekolah Menengah Atas, tetapi mendengar beliau memaparkan sesuatu, seperti bertemu dengan professor kawakan di perguruan tinggi.  

Visi-missinya untuk masa depan bangsa, luar biasa. Dan dalam situasi dan kondisi sulit karena pandemi ini, perusahaannya lolos dari kebangkrutan. Padahal perusahaan yang dimiliki pemerintah, diberitakan megap-megap, terancam bangkrut karena memiliki utang puluhan triliun rupiah!

Dan saya percaya kepada satu nats Alkitab (Mazmur 118 : 22): “Batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan, telah (akan) menjadi baru penjuru”. 

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer