Saya tidak tahu apakah ini tradisi orang Tionghoa atau konsep dasar mereka. Konon jika seorang anak kelihatan pandai, maka orangtua akan mencarikan dana bagaimanapun caranya. Anak harus terus sekolah sampai setinggi-tingginya, agar nanti bisa cepat cari uang dengan mudah dan terhormat. Selai itu mereka kuliah tinggi agar nanti di perusahaan menjadi pemimpin. Sementara anak yang tampak tidak pandai, dididik untuk bisa berhitung sampai 100 dan bisa baca, lalu disuruh kerja.
Memanfaaatkan Kondisi Anak
Itu filosofi teman Tionghoa, setidaknya teman saya Tan Peng An. Peng An tidak cerdas. Di usia 18 tahun, disuruh papanya ikut kerja jualan perlengkapan handphone, termasuk jualan cashing dan pulsa. Setelah 7 bulan, dirasa mampu, pelan-pelan ayahnya meminta Peng An menggantikan jaga toko di Mall Mangga Dua, Jakara Utara. Papanya buka toko di dekatnya dan tetap mengawasi bisnis ponsel anaknya.
Tiga atahun kemudian Peng An ngajak makan siang dan dia cerita,sekarang, dia punya 6 toko serupa di daerah yang sama. Ia sewa counter, tapi barang, ambil dari supplier dengan bayaran bulanan berdasar kepercayaan.
Ia ingat, jika dulu orangtuanya memaksa ia harus sekolah dan kuliah, pasti tak akan sampai sekolah tinggi, sebab uang orangtuanya tidak banyak dan pikirannya tidak tokcer.
Beaya Sekolah Pasti Nombok
Bukan hanya orangtua Peng An saja yang sekarang sulit membeayai anaknya. Beaya kuliah anak sekarang setidaknya Rp 150,000,000 hingga lulus 8 semester. Sementara jumlah tabungan rata-rata orangtua di Indonesia, menurut data BPS ( Biro Pusat Staatistik) selama 15-18 tahun hanya berjumlah Rp 72,000,000. Dana tabungan hanya mencukupi 82%-84%. Sisanya ? Pinjam uang di Bank atau jual tanah atau sawah.
Apapun akan dilakukan orangtua agar anaknya tetap dapat kuliah sampai tinggi, dengan harapan, semakin tinggi, semakin mudah mencari pekerjaan dan dapat uang.
Sayangnya, tak semua orangtua mampu membeayai uang kuliah anaknya, biarpun dengan pinjam atau jual milik mereka. Terlebih kenyataan, sudah sekolah tinggi, dapat kerjapun tidak.
Jika pun di era digital saat ini orangtua masih memaksa diri anaknya harus sekolah tinggi, rasanya itu akan bertolak belakang dengan kemauan anak-anak muda sekarang yang melihat jelas peta pekerjaan masa kini.
Pekerjaan Bernama Kebebasan Berkreasi
Anak-anak muda tidak melihat satu arah pekerjaan: lulus kuliah, kerja dengana gaji tinggi di pemerintahan atau perusahaan besar. Mereka melihat hal-hal yang lebih luas lagi berkaitan dengan pekerjaan yang orangtua tak sepenuhnya paham. Terutama keengganan mereka untuk bekerja secara teratur dan menjadi pegawai orang lain.
Mereka melihat perspektif pekerjaan yang luas masa kini: Desain Grafis, Web Design, Master Plan Creative Concept, IT Manajemen, Website Builder, Content Creator, Application Tester, Crypto Conseptor, Information Security Analyst, Artificial Intelligence (AI) / Machine Learning Engineer, Data Scientist, Web Developer, Software Development Engineer., Computer Hardware Engineer, Blockchain Developer, Crypto Developer, Cloud Architect dan masih banyak lagi.
Bonge dan Sandiaga Uno
Ini adalah peklerjaan yang memberi kebebasan waktu, tempat dan aturan. Satu-satunya aturan yang ada adalah: Kreatif. Mandiri. Marketable.
Kini banyak yang paham mengapa Bonge, salah satu pentolan Citayam Fashion Week, menolak ketika diberi pekerjaan oleh Menteri Sandiaga Uno. Dia seorang content creator yang memiliki penghasilan sendiri yang menurut dia cukup memenuhi kebutuhanya. Termasuk kebebasannya berkreasi. Dan, tak mau merepotkan orangtua dengan jumlah uang tabungan untuk sekolah tinggi.
TULISAN MENARIK LAIN
Jangan Lupakan Sejarah: Roadmap of Cryptocurrency Lahirnya Bitcoin