Boim dan Rizki dilaporkan polisi karena perlakuan kasar KDRT dalam rumahtangga. Semua ini rekayasa demi kontent medsos. Harusnya demi konten youtube, cobalah memasukkan mereka barang seminggu ke bui. Itu akan jadi konten menarik pemirsanya.
Ada bedanya kehidupan keartisan para pelakon zaman dulu dan zaman sekarang. Artis dulu- baik penyanyi maupun pemain film-dibuktikan dengan jumlah rekaman lagu maupun filmografi. Penghibur sekarang ini, dibuktikan dengan jumlah followernya. Itulah cara mereka memperoleh penghasilan.
Lagu-lagu penyanyi zaman dulu mereka diperdengarkan di radio, tv dan rumah-rumah. Juga di panggung pertunjukan. Nama pemain film berjejer di credit title maupun rolling text.
Tidak Pantas
Di masa paceklik seperti pandemi, penghasilan artis zaman dulu menurun hampir 98%. Mereka tidak bisa hidup mengandalkan dari pendapatan satu dua film atau lagu. Mereka bekerja di luar profesi mereka, atau profesi yang jua dijalani semasa masih aktif berperan di berbagai film dan rekaman musik. Banyak dari mereka menjadi pengusaha. Itu yang membuat salut. Mereka tidak mengorbankan nama mereka untuk sesuatu yang tidak pantas.
Artis sekarang juga memiliki usaha. Namun di masa pandemi, di masa media sosial menaarkan peluang memperoleh uang, mereka memanfaatkan penggemarnya. Karya mereka memang tak terdengar di radio maupun di televisi. Satu dua muncul di tv, selebihnya bisa dijumpai di panggung hiburan yang diadakah swasta untuk launching produk atau hiburan parpol dan kantor-kantor.
Itupun dengan catatan, sebulan bisa dihitung dnegan jari. Pendapatannya bisa dihitung. Terbatas. Masih lumayah dibanding dengan pemain film masa sekarang yang oleh wartawan kurang pengalaman ditulis sebagai aktor. Padahal hanya pernah berperan di satu dua judul, dan itupun tidak penting pemunculannya.
Dulu, artis film jarang dipanggil aktor jika kemampuan aktingnya tidak menonjol, belum punya prestasi atau riwayah panjang pengalaman berakting.
Tidak Menonjol
Kita mengenal julukan aktor seperti Slamet Rahardjo, El Manik, Adi Kurdi, Deddy Mizwar,Bambang Hermantoi, Bambang Irawan, Benyamin Sueb, Cok Simbara, Didi Petet, dan beberapa lagi, Tidak banyak nama yang masuk dalam jajaran aktor. Aktor di sini bukan sebutan seorang pemain belaka, namun lebih pada karya aktingnya.
Itu sebabnya, banyak pemain film, namun sedikit yang memiliki katagori aktor. Seorang aktor memiliki jalan panjang karir, perjuangan dan dedikasi. Artis film bisa siapa saja yang bermain di film namun tak menonjol.
Maka agak terganggu, ketika di zaman medsos ini, banyak wartawan muda begitu mudahnya memanggil seorang Rizki Billiar, suami yang melakukan KDRT dengan isterinya Lesti, dalam pemberitaan ditulis sebagai aktor.
Bisa jadi seseorang seperti rizki ini telah bermain di 12 sinetron, namun percayalah, tak ada yang menonjol. Apalagi memperlihatkan keaktorannya. Tapi ia bisa disebut sebagai pemain sinetron atau pesinetron.
Begitu juga Boim Wong. Dia bermain di 7 film yang tak terlalu diperhitungkan. Boim justru menonjol tatkala berperan dalam acara Bagi Bagi Uang di TV. Dalam sebuah episode, ia biasa membagi uang sebanyak Rp 5 hingga Rp 10 juta. Tentu itu uang dari penyelenggara TV. Jikapun dari kantor pribadi, ia masih untung dari bayaran yang diterima.
Namun penghibur seperti Rizki, Boim, Lesti dan banyak yang lain, dimudahkan dengan media sosial seperti YouTube, Tik tok maupun medsos lain yang memberi imbalan berdasar banyaknya mereka yang menonton akun medsos mereka.
Mengejek Penonton
Itu perkaranya mengapa mereka aktif membuat konten di YouTube dan Tik Tok. Mereka mungkin punya Tim Content Creative ( Pembuat Ide Isi Medsos). Namun jika setiap hari dikuras ide-idenya, bisa kekeringan.
Jika sudah putus asa tentang lahirnya ide, mereka bisa ngawur melakukan apa saja demi kontent. Seperti yang dilakukan Boim Wong.
Ia meminta timnya melapor polisi bahwa Baim Wong melakukan KDRT dengan sang isteri. Setelah ramai, Boim mengaku bahwa itu hanya untuk kontent. Hal seperti ini mengejek penonton dan mempermalukan polisi jika Boim Wong dibiarkan bebas.
Tayangan YouTube tidak seperti apa adanya. Ia muncul dari berbagai proses kreatif maupun proses rekaan belaka. Acara seorang perempuan yang memaksa orang lain untuk memakai jilbab di depan kamera, tak sekedar agama. Itu demi konten.
Maka, sejak awal ketika terjadi laporan polisi oleh Lesti Kejora atas perkara pemukulan dan tindak kekerasan yang dilakukan suaminya Rizki Billiar, bisa jadi, adalah juga demi konten. Hal itu semakin kentara ketika Lesti mencabut laporannya dari polisi dengan alasan, demi anak. Mengikuti gaya Boim Wong.
Mencari Perhatian
Jangan tanya kenapa Lesti sejak awal tidak memikirkan soal alasan anak. Ini semua biar terjadi viralisasi dulu. Sebuah proses memperoleh perhatian banyak orang dengan menyentuh perkara yang jadi perhatian masyarakat. Dari situlah mereka masih bisa tetap hidup dan memperoleh penghasilan dan nama.
Beda dengan artis zaman dulu. Mereka tidak pernah mengeksploitasi penggemarnya demi kontent dan follower.
Jika dirunut, dilihat jejak digitalnya, tak ada satupun artis zaman dulu sebelum zaman medsos ini, ada artis yang menipu masyarakat demi sebuah konten komersil. Tidak ada. Itu bedanya. Mereka masih hidup di zaman medsos, tapi tak mau memanfaatkan penggemarnya,
Mereka memiliki integritas……..
BACAAN LAIN
Artis Korban KDRT, dari Yuni Shara hingga Lesti Kejora