Beda Tenggang Rasa dan Tepa Slira dalam Budaya Jawa

Oleh ANDI SETIONO MANGOENPRASODJO

Banyak yang mencampur adukkan atau bahkan lebih parah lagi menganggap bahwa tenggang rasa dan tepa slira itu sama. Lebih parah lagi, jika hal tersebut diterjemahkan dalam bahasa umum atau global sebagai toleransi.

Salah saja pakai banget!

Dalam pergaulan Jawa kuno, yang jadul, yang gak kekinian, tenggang rasa itu makna sebenarnya justru adalah menjaga jarak, agar perasaan kita sendiri yang terjaga. Contoh paling gampang, seseorang yang tiba-tiba lagi dapat jabatan atau rejeki atau kesempatan tertentu. Dimana kita sesungguhnya, juga berhak atau bisa mendapatkan hal yang sama. Maka yang harus kita lakukan adalah “ber-tenggang rasa”. Tujuannya sederhana saja, agar kita dijauhkan dari rasa sirik, iri, atau dengki.

Dulu sekali, di lingkaran pergaulan seni rupa Jogja, seorang pelukis tiba-tiba lukisannya mendadak laku. Tanpa suatu logika yang jelas, hawong gambarnya juga gitu-gitu saja. Lalu muncul suatu “sikap bersama” untuk bertenggang rasa. Dalam jarak sosial, kita menjauh. Agar tidak dianggap aji mumpung, mumpung temannya punya duit lalu mendekat lalu dituduh cari donasi atau utangan. Ikut nimbrung cari jalan akses ke kolektor atau apa pun yang sifatnya ujung-ujungnya adalah “melu mulya”.

Tapi itu dulu, ketika asketisme masih sangat kuat!

Intinya, tenggang rasa itu ditujukan lebih ke dalam, lebih kepada diri sendiri. Ia menuntut diri kita sendiri untuk sejenak menjauh tidak ikut euphoria “kemenangan” orang lain. Yang kita tahu sesungguhnya sangat sesaat sekali. Dalam konteks inilah, semestinya kita memaknai dipilihnya Abdee Negara sebagai Komisaris sebuah BUMN. Apa hebatnya dia dibanding kita, sebagai sesama relawan Jokowi. Bisa debatable semalam suntuk, tapi yang jelas dialah yang lebih beruntung.

Jadi aneh, kalau tiba-tiba, kita mempermasalahkan kompetensi dan relevansi. Hawong dia yang malah selain pemusik, pengusaha juga aktivis. Yang kalau kita runut lebih dalam akan semakin terjungkal hati kita sendiri. Kita kan jadi merasa aneh kok ada ya laki-laki seberuntung dia.

Menceraikan istrinya, untuk memacari seorang musisi perempuan belia. Gak jelas ujung ceritanya, tapi kemudian kabarnya hilang begitu saja. Diabarkan sakit lalu rehat ngbeand, eh tiba-tiba kemudian punya gandengan baru, barang bagus Sophia Latjuba. Jangan-jangan dia dipilih hanya karena pandai berganti-ganti pasangan…

Itulah tenggang rasa, menenggang atau membuat jarak dengan keberuntungan orang lain. Demi menjaga hati kita tetap jernih, bersih, dan asyik-asyik saja…

Akan halnya tepa slira, lebih kepada situasi kondisi sebaliknya! Kita musti menengok ke bawah atau tepatnya keluar. Kepada mereka yang mendadak mengalami sebut saja “ketidak beruntungan”. Sedang tidak beruntung hingga jatuh miskin, atau yang lebih parah “abadi miskin”-nya. Miskin yang dipahami secara sangat luas sebagai miskin harta, pengetahuan, adab, etika, sopan santun, kepercayaan diri, dst dst.

Dalam pergaulan medsos hari ini, tepa slira itu kunci untuk berkomunikasi di era digital ini. Dimana orang yang sesungguhnya bodohnya kebangeten, tapi hobby banget pansos. Dan makin diperparah, dalam pergaulan sosial di dunia nyata yang mana saat ini “agama” sedang jadi panglima. Tepa slira itu diperlukan untuk membuat kita memiliki cadangan rasa welas asih yang berlipat-lipat.

Hendaknya kita lebih mudah untuk jatuh kasihan pada segala pertunjukan kepalsuan yang ada. Yang palsu itu, kalau bahasa gaul hari ini adalah segala hal bersilang sengkarut dengan kemunafikan!

Makanya dalam kultur Jawa ada istilah yang disebut “tepa-tepa“, yang maknanya adalah mengukur diri. Yang kalau dalam peribahasa yang dipopulerkan dan kerapp disitir Jokowi sebagai “yen sira landep aja natoni, yen sira banter aja nglancangi”. Yang artinya: kalau dirinya tajam jangan mudah melukai, kalau dirimu bisa cepat jangan suka mendahului”.

Sesungguhnya kiasan ini asalnya dari ajaran Sunan Kudus, yang kemudian bisa diturunkan ke dalam banyak idiom lain seperti “yen pinter aja minteri, yen mandi aja mateni” (kalau pandai jangan sok pintar, kalau sakti jangan suka membunuh). Singkat kata: berendah hatilah, jangan suka unjuk kemampuan, jangan suka sok!

Kedua hal tersebut, tenggang rasa dan tepa slira tentu saja makin gak laku, tidak relevan dan barang basi dalam pergaulan para milenial. Yang walau jarak makin sempit, tetapi kerakusan juga semakin menganga penampakannya. Dimana idiom dan panduan terpentingnya “jangankan cari barang halal, mengejar yang haram saja susah!”.

Terus njuk piye? Ya ra piye-piye….
.
.
.
NB: Ilustrasi di bawah adalah jenis moda transportasi paling telengas yang pernah diilustrasikan. Sekelompok kuli yang harus berenang menarik para wanita yang duduk di perahu. Menurut saya, dalam konteks tersebut tidak dibutuhkan tenggang rasa maupun tepa slira. Wis angel, wis kebacut!

Tapi kalau, dipikir-pikir, kok para perenang itu mirip para relawan itu ya? Kok ya mau-maunya, kalau pada akhirnya cuma saling iri, dongkol, dan berisik….

Avatar photo

About Andi Setiono Mangoenprasodjo

Penulis, Pemerhati Sejarah, Direktur The Heritage Society, tinggal di Yogyakarta