Oleh ERIZELI JELY BANDARO
Ketika terjadi pemberontakan PKI Madiun, Wahid Hasyim sebagai panglima hisbullah mendatangi Panglima besar Soedirman untuk minta petunjuk. Pak Dirman menegaskan akan dihadapi oleh tentara Siliwangi. Pak Dirman justru minta tolong Wahid Hasyim untuk mengkondisikan pasukan hisbullah mempertahankan ibukota RI Yogya kalau Belanda melakukan agresi militer. Wahid Hasyim menyetujui. Mereka berdua bersahabat. Pak Dirman dibesarkan oleh Muhammadiyah dan Wahid dibesarkan oleh NU.
Saya lama termenung membaca sejarah ini. Betapa dua orang pria yang masih sangat belia belum usia 30 tahun. Namun bersikap sangat bijak. Walau pasukan hizbullah lebih banyak daripada TNI dan hizbulwhatan ( Muhammadiyah ) namun Wahid Hasyim patuh dengan konstitusi. Padahal saat itu banyak Kiyai NU yang disembelih oleh PKI. Dia lebih memilih mendengar dan putuh kepada panglima besar RI.
Andaikan Wahid Hashim, tidak perlu mendengar TNI dan tidak percaya kepemimpinan tentara dibawah Sudirman, mungkin akan terjadi perang sipil yang meluas. Dan proses mencapai kemerdekaan secara legitimasi di forum PBB pasti gagal. Maklum ketika itu pengaruh komunis sama banyaknya dengan Islam. Komunislah yang berhasil membunuh semua keluarga kerajaan Islam Deli. Revolusi rakyat PKI berhasil menumbangkan kerajaan Islam yang di Sumatera ( tidak termasuk Aceh). Tapi dengan keterlibatan langsung TNI menumpas PKI maka , secara hukum PKI dianggap makar dan musuh bagi semua rakyat.
Andaikan Soekarno tidak perintahkan TNI keluar dari Ibukota RI, Yogyakarta, ketika Belanda masuk, mungkin korban terbesar adalah pasukan hisbullah. Tetapi hizbullah tertahan di luar kota. Akhirnya Hizbullah bersama pasukan Siliwangi menjadi penentu suksesnya serangan umum berkode Janur Kuning. Yogya berhasil direbut kembali. Padahal saat itu presiden Indonesia bukan Soekarno tapi Safrudin Prawiranegara, yang memimpin di tengah hutan belantara Sumatera Barat.
Anda mungkin membayangkan pasukan hizbullah NU itu sama dengan pasukan bambu runcing? Tidak. Hisbullah punya senjata lengkap hasil rampasan tentara Jepang. Mereka terlatih bertempur. Karena memang sudah dipersiapkan lama oleh Kiyai di ponpes. Dan sebagian besar kadet Peta. Artikel ilmiah karya J. G. A. Parrott berjudul “ Who killed Brigadier Mallaby” menulis yang membunuh Jenderal Mallaby panglima sekutu di Surabaya adalah santri Pondok Pesantren bernama Harun ( . H. Abdul Aziz ). Dia menembak dengan tangan dingin disaat jenderal dibawah pengawalan ketat. Dia berhasil lolos.
NU punya Andil besar atas kemerdekaan RI. Namun walau mereka ikut angkat sejata dan jadi petarung gagah berani, namun setalah Indonesia resmi dapat pengakuan PBB, para Kiyai itu melepaskan senjata dan kembali ke ponpes jadi pendidik saja. Padahal kalau NU mau mendirikan negara Islam tidak sulit. Tetapi justru NU jadi penyokong lahirnya Pancasila. Semoga Taliban dan umat Islam Afganistan dapat belajar dari NU.