Beberapa saat akhir ini, medsos dimeriahkan dengan berita kasus Ferdinand Hutahaean (FH). Sosok ini sebelumnya seorang politikus. Ia kemudian aktif di media sosial (medsos) dengan berbagai informasi, khususnya politik dan sosial kebangsaan.
Saat ini ia sedang diproses hukum, karena diduga melakukan pelanggaran Undang-undang ITE yang berkaitan dengan ujarannya tentang di akun Twitter-nya. Intinya, soal agama, yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam kehidupan bersama bangsa ini.
Ada reaksi berbagai pihak, baik di medsos maupun dengan demo. Ada juga tanggapan dan imbauan menteri agama. Saya mencatat ada pelajaran berharga dari kejadian sdr. FH ini, juga kasus serupa sebelumnya.
Soal kebebasan berpendapat
Berkaca pada diri sendiri, ternyata saya tidak serba tahu. Faktanya, kemampuan ilmu pengetahuan saya sangat terbatas. Hanya bidang tertentu, pun tidak begitu mendalam dan luar biasa. Meskipun napsu ingin tahu saya tidak terbatas. Itulah manusia.
Lalu, zaman now, dengan kemudahan teknologi informasi digital, banyak orang jadi gampang berpendapat. Bahkan, merasa hebat dalam semua hal, termasuk soal agama dan kepercayaan.
Yang aneh, belum tentu memahami agama dan kepercayaan diri sendiri secara mendalam, tetapi merasa pandai mengomentari agama dan kepercayaan orang lain.
Ada kecenderungan menulis dan menyatakan pendapat, tidak disertai pertimbangan matang dan bijaksana akan reaksi pihak pembaca.
Ada indikasi, banyak pribadi berekspresi menggunakan kebebasan berpendapat dengan mengabaikan tanggung jawab moral, sosial, hukum, dan spiritual.
Fakta alamiahnya, setiap kita manusia punya pikiran dengan keterbatasan pengetahuan, tidak serba tahu.
Lalu, ungkapan pikiran dengan kata-kata, ya mulut hanya satu, sedangkan mata dan telinga ada sepasang.
Jari dipakai untuk menulis di medsos, ada sepuluh jari dan dua telapak.
Diharapkan itu menjadi penegasan kodrati bahwa boleh bicara dan menulis untuk ungkapkan kebebasan pikiran, tetapi harus ada tanggung jawab. Ada hak berpendapat sekaligus kewajiban untuk menjamin hak orang lain dari pendapat kita.
Hemat saya, kasus FH mengingatkan tentang mutlaknya menggunakan hak kebebasan berpikir dan berpendapat, sekaligus tanggung jawab kewajiban menjaga hak orang lain dalam kehidupan bersama. Apalagi soal agama dan kepercayaan, lebih khusus lagi dengan Sang Pencipta yang disembah dalam setiap agama dan kepercayaan.
Kesilauan zaman membuat orang bisa terbawa arus kesombongan dan kebodohan, sehingga Sang Hyang Agung pun dijadikan cuitan medsos. Bukan untuk disembah dan dimuliakan, sesuai iman kepercayaan yang dianut pribadi masing-masing.
Kita harus jujur, jika ilmu dan pengetahuan agama kepercayaan kita sendiri pun belum dipahami maksimal, mengapa merasa hebat membicarakan agama kepercayaan orang lain? Semoga kasus ini menjadi introspeksi mandiri setiap kita.
Kemudahan teknologi informasi digital
Zaman now, era teknologi digital telah berpengaruh dalam semua aspek kehidupan manusia. Ada banyak dampak positif bagi kita. Tetapi, jika tidak menguasai sistem dan sarananya, maka bisa berdampak negatif.
Satu fakta zaman adalah kemajuan teknologi informasi digital tidak serta merta berjalan seiring dengan kemajuan pengetahuan dan keterampilan kita untuk menguasai dan memanfaatkannya.
Teknologi informasi digital membanjiri pikiran dan pengalaman setiap pribadi dengan miliaran data. Data visual, audio, dan literer.
Ketika ada alat seperti gadget dan komputer, maka berbagai kemudahan ditawarkan. Hiburan, informasi ilmiah akademik, politik, agama dan bisnis.
Singkatnya, ada booming informasi di berbagai bidang. Tagihannya adalah harus bayar dengan pulsa dan harus membuat pilihan dan keputusan akan informasi yang disajikan.
Di sini dibutuhkan kemampuan pengetahuan dan keterampilan menguasai sistem teknologi. Jika tidak, justru pilihan kita diatur oleh alat teknologi, dan bisa menjadi “hamba IPTEK digital”.
Misalnya, anak yang ketagihan main game online sampai sulit makan dan tidak mau sekolah. Ada yang pakai gadget dan teknologi informasi digital untuk sebar hoaks dan hal negatif, melakukan penipuan dan aneka kejahatan cyber.
Hal yang patut dicatat, bahwa kecanggihan teknologi informasi digital pun membangun satu sistem yang membuat kita sulit menipu.
Ada rekam jejak yang tersimpan, jika kita menggunakan media sosial.
Jadi, apa yang kita tulis dan kirim, kita upload di medsos, akan terlacak oleh pihak lain dan dimudahkan oleh teknologi informasi digital. Kita diajar untuk jujur dan berpik sebelum menulis atau memposting pikiran pendapat kita ke media sosial.
Ketika tulisan dan postingan visual kita publikasi karena kebebasan kita, dan ternyata mengganggu hak orang lain, maka data yang sudah dipublikasi itu pasti terlacak karena ada rekam jejak digital.
Lesson learnt bagi kehidupan bersama
Kasus FH diharapkan dapat ditangani pihak berwenang sesuai hukum yang berlaku. Namun, rasa kenyamanan hidup bersama, sebagai bangsa dan warga negara, telah terganggu. FH, dalam kapasitas dan pengalamannya, telah melakukan hal yang tidak diharapkan.
Manusia bisa khilaf dan keliru, sebagai bukti kita bisa menyalagçgunakan teknologi informasi digital.
Kebebasan berpikir dan berpendapat di medsos, tidak menghilangkan tanggung jawab dan kewajiban menjaga dan menghormati hak sesama saudara sebangsa dan setanah air. Juga sesama umat beragama dan kepercayaan yang lain.
Tentang beriman sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, jika tentang agama dan kepercayaan kita sendiri belum dipahami maksimal, jangan merasa hebat mengurusi agama dan kepercayaan sesama yang lain.
Agama dan kepercayaan itu untuk diimani, dihayati, dan diamalkan dalam hidup.
Sesama akan mendapat amal ibadah kita dan manfaat kedamaiannya, bukan ketidaknyamanan, bahkan ketidakadilan dan penderitaan.
Teknologi informasi digital banyak memberi kemudahan dan manfaat. Tagihannya adalah kebijaksanaan, pengetahuan, dan keterampilan kita menggunakannya.
Jika itu jadi berkat, kita dapat manfaat dan sesama pun tidak dirugikan. Syukur, jika dengan teknologi informasi digital kita menjadi berkat bagi sesama, karena tulisan dan postingan kita, karya kita, memberi manfaat bagi kehidupan bersama.
Harapan kita, para penegak hukum negara pun membantu keteledoran pengguna teknologi informasi digital, dengan mendidik kesadaran akan hukum TI dan menindak para pelanggarnya.
Semoga.
Penulis: Simply da Flores
Harmony Intitute