Dari orangtua, pendidik, penjasa dan mereka yang telah meninggal, kitabyang muda belajar kehidupan. Pengalaman mereka menjadi guru bagi kita yang baru lahir dan sedang bertumbuh. Begitulah sejarah peradaban manusia.
Tahun 2022, almarhum Romo Mangunwijaya diperingati 23 tahun wafatnya. Teladan kesahajaan hidupnya, serta karya kemanusiaannya dalam kegiatan sosial, pendidikan alternatif dan menulis sastra menjadi kenangan hidup bagi semua yang mengalami serta peduli.
Saya kutip penggalan catatan yang ada dalam tulisan dengan judul: In Memoriam,
HUT Alm. Romo YB.Mangunwijaya
6 Mei 1929. sbb.
- Pernyataan Romo Mangun:
“Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya. Tetapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia” - Komen tentang karya Romo Mangun di Kali Code, Yogyakarta dan Pendidikan.
“Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code
telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Belum lagi, kepeduliannya
terhadap karya pendidikan dasar dan orang-orang miskin. Ia jugalah yang
mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED).
- Tentang nilai kearifan leluhur bangsa kita.
Saya kutipkan sepenggal sajak indah dari nenek moyang kita, yang dituliskan kembali oleh Romo bMangunwijaya, dalam bukunya Wastu Citra (hal 2):
“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine, pepindhane wadhah lan isine …” (Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya).
- Pewartaan tentang keharusan memberi kesaksian iman.
Gereja pun diajaknya mencapai hidup sejati, maka Romo Mangun pun dengan lantang menyerukan hati nurani kemanusiaan kepada seluruh warga Gereja.
“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka yang kaya dan berkuasa …
Hukum rimba: siapa kuat, dia menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”
Setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal
sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem, yang memang memberinya
kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
Mengagumi seorang tokoh seperti Romo Mangun, saya menuliskan sajak sederhana: Mengagumi Sang Burung Manyar
Kepak sayapmu Sang Manyar
menari mengelilingi matahari
biaskan tulisan cahaya
pada lembaran peradaban
Ketika hinggap di tanah
kau kais debu kerikil
jelmakan bangunan makna
di tepi kali code, kedungombo
di kampung dan desa
di metropolitan dan lintas benua
dalam goresan penamu
Sang Burung Manyar
sebelum terbang pulang
ke istana awan menjulang
Patokmu pada halaman waktu
Alirkan mata air hakikat
pada literasi sejarah
Jadi sungai keindahan
penghubung samudera zaman
dan damba kehidupan
Sang Burung Manyar
telah melukis ibadah
Warna-warni pelangi
di tengah alunan melodi
lagu insani mengukir jati diri
berbekal fitrah Ilahi
Simply da Flores Harmony Institute