Si kecil tetap bisa bermain dengan santai, meski sang ibu sudah semakin dongkol dan kecewa.
“Yah, kita tertipu ini. Kok di sini gangsingnya cuma lima ribu, tadi kamu membelinya limabelas ribu.”
“Ya, mustinya dapat tiga itu, ya, Mi “ujarnya dengan gerakan tangan seperti berhitung limaribu dikalikan tiga adalah limabelas ribu.
Jujur, saya mengomel tak henti dalam hati. Kok bisa-bisanya harga mainan tradisional di-upgrade sampai tiga kali lipatnya antara satu toko oleh-oleh dengan yang lain. Pisuhan itu makin bertambah tentang bagaimana perbedaan harga tak berpengaruh kepada pengrajinnya yang mendapat apresiasi paling sedikit.
Sesampainya di rumah, kekecewaan saya bertambah, dengan tiada tali untuk menarik-putar gangsing. Memang salah saya juga tidak memeriksa barang yang si bungsu ambil dan bayar ke kasir.
Seharusnya tak menumpukan kepercayaan, walau dia sudah fasih bertanya hal yang ingin diketahui seperti password wifi, letak toilet di tempat umum, harga barang, termasuk membayarnya. Perlu kesadaran bahwa dia tetap anak sepuluh tahun yang perlu diawasi.
Spontan saya bereaksi. “Loh, kok bisa nggak ada talinya. Jualan macam apa begitu. Sudah lebih mahal, dstnya … dstnya” , yang tentu tak perlu saya tulis satu persatu makian itu di sini.
Si bungsu bagaimana? Santai saja dia merespons. “’Kan tetep bisa main ini, biar ga ada talinya. Aku mainnya ya kayak gini, nggak pake tali.” Sekejap kemudian, dia telah seru bermain, jauh meninggalkan saya yang masih menggerutu saja.
Seharusnya saya perlu berbangga hati melihat bagaimana dia lebih tidak kecewa dibanding ibunya , yang kemudian merasa tersadar, semua kekesalan dan kekecewaan itu karena merasa dirugikan secara materil.
Padahal gangsing pertama itu dibeli dengan memakai uang saku si bungsu sendiri. Yang diperolehnya dari memproduksi sesuatu. Bukan hasil bujuk rayu ke saya atau ayahnya.
Saya jadi mengingat-ingat lagi. Hati si bungsu yang sangat lembut, kerapkali mudah kecewa dengan tidak terpenuhinya janji orang lain, atau janjinya kepada orang lain.
Suatu kali dia berjanji untuk bermain dengan temannya di hari X. Namun, pada hari itu, temannya tidak bisa karena ada keperluan yang lebih penting.
Si bungsu begitu kecewa dan mempertanyakan mengapa janji mereka tidak bisa terwujud. Saya mencoba menghibur, adakalanya segala sesuatu tidak sesuai dengan yang kita inginkan, sebab satu dan lain hal. Dia perlu belajar tak semua hal bisa terjadi atau terwujud hanya karena kita menginginkannya saja.
Saat itu, dia butuh waktu setengah hari untuk bisa menelan kekecewaan itu.
Dari dua peristiwa tadi, pembaca mungkin bisa melihat betapa rasa kecewa sangat personal. Bila saya (anggap mewakili orang dewasa) merasa kecewa karena dirugikan materi, si bungsu merasa kecewa karena seperti tidak dihargai temannya.
Ahli parenting sendiri mewanti-wanti bahwa anak harus diajarkan cara menghadapi perasaan kecewa yang sifatnya positif konstruktif, supaya anak itu tumbuh menjadi manusia yang resilient (pantang menyerah).
Tanggapan saya lagi-lagi tergantung hal apa yang membuatnya kecewa. Psikolog memang hanya membagi dua tipe kekecewaan, yaitu pada diri sendiri, dan pada orang lain.
Dari kasus di atas, saya kecewa kepada penjual sekaligus kecewa kepada diri sendiri akan kekurangtelitian. Bungsu saya kecewa kepada temannya yang menurutnya ingkar janji, sekaligus dia kecewa kepada diri sendiri yang merasa janjinya tak bisa direalisasikan.
Sebagai orang tua kita tentu paham tak bisa melulu melindungi anak dari rasa kecewa dan frustasi. Sebaliknya tak berarti membebani anak dengan frustasi atau dengan sengaja menimbulkan rasa kecewa pada anak.
Hal yang perlu dilakukan adalah dengan mendampingi anak menghadapi rasa kecewa dan frustasi, dengan memberikan penjelasan bahwa rasa kecewa itu memang nyata. Lalu, membantunya untuk bangkit dari rasa kecewa itu.
Mudahkah? Saya rasa tidak. Biasanya anak yang tampak seolah-olah mudah selesai dari rasa kecewa malah yang terbiasa menekan perasaan negatif, tanpa menyelesaikannya.
Biar bagaimanapun rasa kecewa ternyata tak jauh berbeda tahapnya dengan grieving, seperti teori Kubler-Ross, yang menganggap tahapan ini sebagai mekanisme pertahanan diri yang alami manusia tunjukkan ketika menemui situasi tidak menyenangkan.
Mari kita umpamakan kelima tahapan ini dengan contoh kasus terkait pengasuhan.
Seorang Ibu merasa kaget anaknya diam-diam mengambil sebuah barang di minimarket dan ketahuan.
Ada denial , “Ah, anak saya tak mungkin melakukan hal semacam itu. Saya nggak percaya dia begitu, saya nggak mungkin ngaco ajarin dia mencuri. Bila ingin sesuatu dia nggak segan meminta, kok!”
Ada anger, “Ini nggak bener. Pasti dia terpengaruh iklan, melihat di internet tentang prank-prank pencurian. Saya nggak terima kalau dibilang nggak becus mendidiknya.”
Ada bargaining , “Kasi kesempatan buat anak saya untuk tetap berbelanja. Dia masih anak-anak. Bukan kriminal. Itu pun dia mengaku iseng saja karena sangat ingin sekali sekotak permen itu.”
Ada depression , “Tuh, kan. Nggak ada yang percaya kamu tuh iseng bukan niat nyuri. Bilang, Nak kalau mau sesuatu, bukannya mengambil yang bukan hakmu. Ibu malu … karena orang menuduh keluarga kita suka mencuri.” (padahal tak ada yang menuduh)
Ada acceptance, “Mudah-mudahan konsekuensi yang kelak anakku terima, akan menjadi lahan belajarnya. Tak apa satu kali dia melakukan kesalahan, kalau dengan itu dia belajar.”
Lima tahap itu tak serta-merta pasti berurutan dari denial ke acceptance. Pada banyak kejadian, rasa kecewa kita hanya berhenti di anger saja, lalu lompat menjadi deppresion; tergantung dari pengalaman mental dan emosional kita masing-masing.
Di penghujung tulisan saya ingin bertanya.
Apa ada yang merasa dengan membaca tulisan ini, belum juga paham malah makin bingung dengan kecewa? Ya tak mengapa juga bila demikian.
Karena ingat deh, seperti tulisan saya tentang parenting yang sangat personal; bisa memahami dan menerima kekecewaan juga sama personalnya.
Belajar kecewa bagi saya tentu membutuhkan kedewasaan pikiran dan perasaan, yang tak bisa didapatkan hanya dari membaca tulisan ini saja.
Yuk, kita terus belajar, yuk!