Fiksi 3 Bagian
“CA…mastektomi… kemoterapi…”
Melani, menunduk di depan dokter, menarik tangannya dari genggaman suaminya. Ia otomatis meraba payudara kirinya.
Wanita itu tidak mendengar lagi apa bunyi perundingan antara David dengan dokter: tanggal-tanggal yang mereka cocokkan, pemesanan kamar di rumah sakit, dan segala printil-printil yang memang tidak ingin didengarnya. Yang diinginkannya adalah membalik waktu ke saat penyakit itu belum mendekam di tubuhnya. Ia ingin sembunyi di dalam cangkangnya, di zona nyamannya.
Semua buram bagaikan mimpi. David membimbingnya keluar dari ruang praktek dokter, berjalan bersamanya ke kasir, mengurus entah apa, lalu mengantarnya ke kursi lobi agar duduk menunggu sementara ia mengambil mobil di parkiran.
Sepanjang waktu di mobil David terus mengajaknya bicara. Tapi yang diingatnya hanya, “Mel, kamu tabah ya. Kita berusaha, berobat, dan kamu pasti sembuh. Stadiumnya masih dini kok….”
Sesampai di rumah Mel mengurung diri di kamar. David berusaha menghiburnya, begitu pula kedua anak yang sudah remaja. Janji-janji mereka untuk selalu berada di sisi Mel, mendampinginya, mendukungnya dalam doa, terdengar seperti dengungan lebah di telinganya. Mel hanya terpejam dengan mata terus-menerus membasah walau dikeringkan dengan tisu oleh si Sulung.
Malam itu ketiga “support system” Mel berdoa di seputarnya. Khusyuk. Sementara di pikiran Mel sendiri hanya ada tanya: “Kenapa aku? Kenapa aku, Bapa?”
Atas bujukan David dan kedua anaknya, Melani menjalani proses pengobatannya tahap demi tahap. Ia seperti robot. Tidak melawan, tapi juga tidak berjuang. Pasrah saja. Akhirnya sampailah hari itu. Di meja operasi ia berhitung dalam hati sebagaimana dulu biasa dilakukan dalam proses pembiusan, “Satu, dua, tiga….”
***
Kesadarannya pelan-pelan kembali. Ia membuka separuh matanya. Semuanya masih remang-remang. Ruang operasi sepi. Lalu ia menajamkan mata, karena di pojok kamar ia melihat sosok wanita bergaun biru dan berkerudung putih. Dari wajahnya yang cantik terpancar cahaya. Matanya ramah, senyumnya manis.
“Bunda…,” Mel mengeja, tapi tidak ada suara yang keluar. Sosok itu mendekat, mengulurkan tangan. Mel ingin menyambut tangan halus itu, tapi lengannya tak bisa digerakkan. Berat sekaligus lunglai.
“Anakku, belajarlah berhitung.” Kata-kata itu jelas sekali terdengar. Tapi ia tidak tahu apa maksudnya.
“Bunda…,” ia ingin bertanya, tapi sosok itu pelan-pelan lenyap di udara.
Tak lama kemudian dokter dan perawat datang memeriksa keadaannya. Melani ingin menegaskan, siapa wanita yang tadi menjenguknya, dan ke mana hilangnya. Tapi ia terlalu lemah untuk bicara.
Hari kedua setelah operasi