BELAJAR MENGHITUNG BERKAT

Hari kedua setelah operasi, Mel terbangun dan mendapatkan hanya Agnes yang menunggu di sisinya.

“Papamu mana?” katanya.

“Katanya kerja, Ma.”

“Lho, bukankah sudah izin seminggu?”

“Ada urusan mendesak, katanya. Nggak apa-apa kan, aku yang nungguin Mama? Mama gimana hari ini? Tambah enak?”

“Mana enak sih, yang namanya habis operasi?” Mel merajuk, tapi matanya menatap sayang pada sulungnya. “Hari ini Mama belajar jalan, kamu bisa bantu tuntun Mama?”

“Siap, Ma!”

“Aku juga siap,” kata Ryan yang tiba-tiba muncul di pintu.

***

Mel berjalan tertatih-tatih di sepanjang lorong rumah sakit, diapit kedua anaknya. Ketika ia mengangkat mata dari sandal jepitnya, di kejauhan dilihatnya pemandangan yang mengejutkan: David menggandeng… ibunya!

“Benar itu Oma, atau mata Mama yang menipu?” tanyanya. Ryan mengangguk, Agnes bertepuk tangan.

Dua wanita, yang satu sedang belajar jalan, yang lain sudah “slow motion” karena usia, punya keinginan yang sama, yaitu berlari mendekat lalu saling mendekap. Namun keadaan tubuh berkata lain.

Setelah rindu terlampiaskan, setelah Mel berbaring kembali di ranjangnya, David dan kedua anaknya pergi ke kantin untuk mengganjal perut dan membelikan sesuatu buat mertua.

Kata Mel pada ibunya, “Sebenarnya aku tidak ingin Ibu tahu.”

“Kenapa? Takut Ibu syok dan stres? Ibu tidak selemah itu, Mel.”

“David melanggar pesanku, dan mengabari Ibu…”

“Bukan itu saja. Menantuku mengirim tiket pesawat.”

“Dia tahu aku butuh Ibu dalam keadaan seperti ini.”

“Ya.”

Mana bisa Mel marah pada suaminya? Ia justru lega ibunya ada di sisinya, boleh ikut pulang bersamanya besok atau lusa. Membantu merawatnya fisik dan psikis.

“Bu, aku sebenarnya kepingin bercerita sesuatu pada David, tapi ah, sama Ibu saja dulu.”

“Berceritalah, tapi kalau sudah lelah, istirahat ya. Ibu temani kamu di situ,” katanya menunjuk sofa bed.

“Bu, Ibu ingat mengajariku berdoa pada Bunda Maria?”

“Ya, tentu.”

Mel, juga ibunya, menerawang. Mungkin mereka sama-sama terkenang akan rumah masa kecil Mel di Klaten, di mana di pojok kebun belakang Ibu memaksa membangun Gua Maria.

Peringatan Ayah tentang tipisnya keuangan mereka tidak dipedulikannya, dan akhirnya berdirilah gua kecil dan cantik itu, yang selalu dihiasi bunga. Mel dan ketiga adik perempuannya memetiknya di taman tak jauh dari rumah. Kadang kencana wungu, kadang kembang pagi sore atau sutra bombay. Di situlah, kalau hati galau, Mel berdoa pada Bunda.

“Ma, waktu aku habis operasi, aku melihat Bunda datang….”

“Hah? Kamu beruntung sekali disambangi Bunda, Mel. Lalu?”

“Lalu Bunda berkata, ‘Anakku, belajarlah berhitung.”

“Bunda benar.”

“Bu, apa yang harus kuhitung? Biaya rumah sakit? Uang kuliah Agnes tahun depan?”

Ibu tersenyum sabar. Katanya, “Ah kamu…. Tentu Bunda menyuruhmu menghitung rezekimu. Berkatmu.”

“Berkatku? Aku sakit, Ma, sakit bukan berkat.”

“Kamu bodoh ah. Coba balik caramu berpikir. Kamu dilimpahi rezeki dan berkat, Mel. Hitung saja. Suami yang baik, anak-anak yang manis, rumah tangga yang berkecukupan…”

Ibu masih “berhitung” tapi anaknya, yang tentu tidak bodoh, menyela, “Ya, aku paham, Bu. Baiklah, aku mau mulai berhitung. Dan yang nomor satu, adalah ini nih…,” Ia menunjuk ibunya. “…ibuku tersayang.”

Wajah Ibu sumringah, memancarkan kedamaian seperti juga Bunda Maria. Ia menggoda anaknya. “Yang nomor dua, apa Mel?”

Tapi pasien keburu terlelap. Atau mungkin pura-pura.

Sampai saatnya Melani menjalani kemo kedua

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.