Sampai saatnya Melani menjalani kemo kedua Ibu masih mendampinginya; duduk di sisinya, menggenggam tangannya. Jika akibat kemo Mel merasa mual, Ibu siap mengambil tempolong untuk menadahi muntahnya. Ibu tidak banyak memberi nasehat atau saran-saran, hanya menemani dan memenuhi kebutuhannya. Mengimbangi pasang surut suasana hati sulungnya.
Didampingi Ibu yang jauh lebih “rohani” dari dirinya, Mel mulai terbawa untuk menghitung berkat dari-Nya. Semua yang positif, sekalipun sangat sehari-hari, disyukurinya. Matahari pagi, senja yang indah, prestasi anak-anaknya di sekolah, masakan Ibu yang lezat, adalah berkat. Ia juga bisa melihat berkat dalam hal-hal yang dulu menjadi bahan keluhannya. Bangun tidur, ia tidak pusing. Jalan pagi dengan David, ia tidak limbung atau lelah. Suaminya pulang terlambat, ia tidak kesal. Dan seterusnya. Mungkin sudah ratusan.
Bahkan ketika Ibu harus pulang karena adik bungsu Mel akan melahirkan di Surabaya, ia tidak galau meskipun masih sangat membutuhkan Ibu. Dengan nada canda ia bilang, “Rasanya kepingin aku mem-foto kopi Ibu.” Agnes lalu menyambar, “Di-klon saja Oma ini, Ma. Jadi ada satu di sini dan satu di sana.”
Untunglah kemo keempat sudah lebih “bersahabat” dengan Mel. Ia sudah lebih tabah secara psikis, dan lebih kuat secara fisik. Dan Ibu setiap hari menelepon setelah Nak Mantu mengajarinya WA call. “Benar tidak bayar?” Ibu semula ragu, tapi berhasil diyakinkan.
Namun tak urung, setiap kali habis ditelepon Ibu, Mel kembali kangen. Dia mengadu pada anaknya, “Nes, Mama ingin sekali ke Surabaya.”
“Nanti kalau sudah sehat kita ke sana, ya Ma?” Agnes menepuk-nepuk bahu Mel seakan-akan dialah yang jadi ibu, dan Mel anak.
Suatu hari ia melihat Agnes menyapu. “Tumben kamu nyapu, Nes?” katanya.
“Iya nih, Ma, makan kripik berantakan.”
“Makannya ditadahi dong, Nes.”
Agnes mencoba melindungi sampahnya, tapi Mel keburu melihat. “Apa itu? Rambut? Rambut Mama?”
Ia meraba kepalanya. Sebelah kiri, masih teraba helaian rambut. Tapi sebelah kanan….
“Nes….”
“Hanya sementara, Ma. Nanti tumbuh lagi.”
Hari demi hari, segumpal-segumpal rambutnya berguguran. “Jelek sekali, ya Ryan?” tanyanya pada si cowok.
“Oh nggak. Tapi menurutku lebih baik sekalian dirapikan, Ma,” kata Ryan.
Besoknya Agnes mengajak asisten kapster salon langganannya ke rumah.
Mel dicukur di kamar mandi, berhadapan dengan cermin. Tapi ia menutup matanya, sampai akhirnya Agnes mencoleknya. “Ma, sudah rapi. Coba lihat, Ma.”
Pelan-pelan ia membuka mata. Oh…dia klimis. Dia seperti bayi yang dicukur pada upacara satu bulanan.
“Bersih, rapi,” kata Agnes.
“Iya,” sambung Ryan. “Sekarang semua features wajah Mama terlihat jelas.”
Mel mengangkat bahu. “Ya sudah,” katanya. “Nanti Mama tutupi pakai scarf saja.”
Anehnya, David seperti tidak acuh pada selendang yang menutupi kepala istrinya. Tidak bertanya, tidak menghibur, tidak menyuruh Mel melepasnya. Cuek? Tidak juga, sebab sikap lelaki itu biasa saja. Tetap makan bersamanya, mengobrol dengannya, bahkan curhat soal komunikasi buruk dengan rekan sekantornya. Mel menyimpan rasa penasarannya dalam hati.
Itu kemarin. Hari ini, sore-sore David sudah pulang. Sesudah memarkir mobil di garasi, David masuk ke ruangan. Tidak seperti biasanya, ia mengenakan topi baret kotak-kotak. Seperti seniman pelukis di jalanan Paris.
“Tumben pakai to…,” ujar Mel. Ia tidak melanjutkan ucapannya karena melihat sesuatu yang sangat menakjubkan: David membuka topinya, menggantungnya di dinding dan OMG… kepalanya licin plontos.
“Kau…”
“Sekarang kita sama.” David tersenyum lebar, menghampiri Mel dan hati-hati membuka selendang yang sejak tadi membungkus kepala Mel.
“Kamu apa-apaan…,” kata Melani, menepuk kepala David. “Hahahaha….” Ia terbahak-bahak sampai mengeluarkan airmata.
Aksi kompak David membuat Melani merasa berkat dari-Nya semakin melimpah. Mungkin sudah sampai ke angka 1000. (BG)
“