Belenggu Nalar, Catatan Memoar Laksamana Sukardi di BUMN dan Pertamina

Belenggu Nalar-crop

Buku baru Bung Laks mengungkap perjuangannya semasa menjadi Meneg BUMN dan Komisaris Pertamina, mengungkap skandal hukum dan politik. Menghadapi tekanan KPPU dan Pansus DPR RI hingga akhirnya mendapat kepastian hukum dari KPK dan Kejaksaan Agung. “Dengan jelas betapa ganas dan merawak rembang, mereka itu untuk mencapai tujuan memenuhi birahi kedzamimannya”. (hal 132)

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

BICARA Laksamana Sukardi artinya bicara tentang BUMN dan Pertamina, kasus penjualan dua kapal tanker raksasa serta keluarnya dari PDIP. Saya pernah ingin bertanya tentang itu saat jumpa langsung, tapi dalam pertemuan terbatas masa itu, kami harus membahas topik lain.

Terakhir kami diskusi seputar buku ‘Pancasalah’ di Bimasena Club, The Dharmawangsa, Jalarta Selatan, Agustus 2022 lalu. Berlanjut di rumahnya yang sejuk, juga Kebayoran baru, membahas lebih rinci, bersama novelis Mas Harry Tjahjono dan Mat Bento Herman Wijaya, kolega saya.

Minggu petang kemarin, saya mendapat kiriman buku karyanya terbaru, Belenggu Nalar dan saya langsung membacanya dengan lahap, setelah dia pulang. Buku setebal 214 halaman yang diterbitkan Buku Kompas, 2023 ini, tuntas terbaca dalam waktu singkat, sekaligus menjawab sebagian besar yang menjadi pertanyaan saya selama ini. Beruntung ada bukunya sehingga tak perlu tanya langsung dan membahas panjang lebar.

Belenggu Nalar adalah memoar Laksamana Sukardi semasa menjadi Meneg BUMN (1999 – 2004). Segala masalah dia hadapi dan bagaimana memecahkannya, menyelesaikannya. Berlanjut dengan kasus kasus hukum yang menderanya. Mengungkap catatannya semasa duduk di kursi pemerintahan dengan berbagai masalahnya, dimana yang paling menonjol memang tuduhan korupsi kasus kapal tanker Pertamina dalam usaha mengembalikan stabilitas BUMN.

Bung Laks, panggilan akrabnya, berjasa bagi republik. Dia sempat menurunkan kurs dollar dari Rp 15.000 menjadi Rp 8.000 – yang sekarang naik lagi, kembali ke Rp.15.000. “Saya tidak berharap bintang jasa, tapi saya juga menolak segala fitnah keji, ” katanya, mencurahkan isi hatinya.

KASUS dua tangker VLCC (Very Large Crude Oil Carrier) Pertamina buatan Korea Selatan yang dijual kepada Frontline, perusahaan asal Amerika Serikat, menjadi sandungan terbesar Laks. Tuduhan demi tuduhan menimpanya. Ada banyak pihak yang ingin menjegal langkah Laks, yang pekat dengan aroma politik, selain hukum.

Bahkan kemudian Laks harus memperkarakan awak media, para wartawan notabene keluarga besar profesi, karena dia anak wartawan dan cucu dari salahsatu Perintis Pers Indonesia. Ayahnya, Gandhi Sukardi adalah wartawan Kantor Berita Nasional Antara, Kepala Perwakilan di Tokyo. Sedangkan kakeknya, Didi Sukarni, merupakan salahsatu Perintis Pers Indonesia, pendiri Oetoesan Indonesia pada tahun 1932. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Sukabumi, yaitu Jl. Didi Sukardi.

Laksamana Sukardi, kita tahu, adalah sedikit profesional di bidang ekonomi dan perbankan terpanggil oleh politik, menyuarakan protes di penghujung Orde Baru. Dia masuk kubu Megawati Sukarnoputri dan langsung menjadi tenaga andalan.

Dia dipercaya menjadi Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN 1999-2004), setelah duduk di Senayan sebagai anggota DPR/MPR RI (1992-1997) . Sebelumnya, alumni Teknik Sipil ITB ini merupakan Vice President Citibank (1981-1987), Managing Director Lippobank (1988-1993).

Saat menerima tugas sebagai Meneg BUMN dan Komisaris Pertamina, dia langsung menghadapi rentetan masalah gawat: defisit cashflow, tagihan setoran ke Kementrian Keuangan untuk APBN dan keharusan menyediakan BBM secara stabil kepada masyarakat.

“Tolong dijaga, Laks. Ini tahun pemilu (2004). Jangan sampai terjadi sabotase kelangkaan bahan bakar minyak” pesan Megawatri, secara khusus padanya. Tentulah kita tahu, gangguan pasokan BBM akan berdampak langsung dengan guncangan poltik.

Langkah yang dilakukannya, kemudian menyusun skala prioritas, membatalkan berapa proyek untuk memperbaiki likuiditas perseroan di Pertamina, demi menjaga pasokan BBM – selain memenuhi kewajiban seteron ke kas negara melalui Kemenkeu.

Laksamana Sukardi Pancasalah
Laksamana Sukardi merasa menjadi korban pendazliman KPPU dan pansus DPR-RI serta media.

PERTAMINA yang puluhan tahun menjadi icon negara dan berkilau di luar, ternyata, bobrok di dalam; menjadi ‘bancakan’ para pejabat – ungkapnya. Diperlukan manajemen krisis yang tepat dan cepat, menghadapi ancaman.

Krisis likuiditas diperparah dengan adanya kenaikan harga minyak dunia yang mengakibatnya membengkaknya BBM di dalam negeri dari Rp 14,5 triliun menjadi Rp72 triliun (2004). Mengakibatkan, modal Pertamina terkuras.

Dari luar negeri, ancaman yang langsung dihadapinya adalah kekalahan Pertamina di Pengadilan Arbitase Jenewa (Swiss) atas tuntutan Karaha Bodas Company (KBC), yang mengakibatkan 12 rekening Pertamina di luar negeri dibekukan di Bank of New York. Karaha Bodas Company sebelumnya rekanan yang membangun pembangkit listik untuk disuplai bagi Pertamina. Namun Pertamina menunda penyelesaian proyek kerjasama suplai energi itu.

Putusan Pengadilan Arbitase Internasional berlaku di seluruh dunia dan harus dipatuhi oleh semua negara, karena Indonesia ikut menandatangani New York Convention 1958 tentang penyelesaian sangketa hukum internasional. Ancaman penyitaan aset itu nyata dan serius.

Dari 12 rekening yang isinya US$ 650 juta itu 95% milik Pemerintah dan hanya 5% milik Pertamina. Pihaknya harus membayar denda US$350 juta dari US$650 juta yang diblokir.

Laksamana Sukardi juga menghadapi upaya penyitaan dua kapal tanker pembawa minyak mentah VLCC yang sedang dalam tahap penyelesaian di galangan kapal Hyundai di Korea Selatan. Kapal itu belum lunas dan masih dicicil – tapi sudah diincar untuk disita KBC.

Menurut Laks, pengadaan kapal angkut minyak raksasa berbobot mati 260 ribu ton sudah bermasalah sebelumnya, akibat metode pembelian oleh direksi Pertamina sebelumnya. Menag BUMN dan direksi baru yang kena dampaknya. Pertamina harus menjadi pecundang setelah Pengadilan Arbitase mengizinkan Karaha Bodas menyita semua aset Pertamina, termasuk dua tanker VLCC di Korea Selatan.

Di buku ini, Laks menjelaskan rinci langkah langkah yang dilakukannya untuk melepas belenggu masalah di pertamina dan BUMN. Pilihannya antara lain, menjual dua kapal tanker secara diam diam, demi menghindari serangan dan terkaman KBC – yang gigih mengejar aset Pertamina di luar negeri. Hasilnya untuk membayar cicilan hutang.

Atas langkahnya itu dia diperkarakan. Penjualan diam diam itu dianggap merugikan negara hingga US$20 juta hingga US$56 juta sampai US$56 juta atau setara dengan Rp180 miliar . Padahal justru menguntungkan negara, karena mendapatkan keuntungan divestasi sebesar US$ 53,2 juta. Dia pun berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga Pansus di DPR RI. Bahkan, Jaksa Agung pun turun tangan.

Di sanalah masalah hukum dan serangan politik beruntun membelitnya.

BELENGGU NALAR yang menjadi judul buku ini, merupakan catatannya saat dia menjadi terdakwa Pansus VLCC DPR RI. Laksamana Sukardi yang sebelumnya politisi PDIP diperlakukan sebagai lawan setelah mendirikan partai baru bersama Roy BB Janis. Politisi DPR RI yang gigih menyalahkannya adalah pentolan PDIP notabene rekan sendiri.

Sebelum Pansus, DPR memanggil Dirut Keuangan Alferd Rohimone, menawarkan kompromi, dengan imbalan. Atau menghadapi resiko nama Laksamana Sukardi akan tercemar – yang kemudian menjadi kenyataan. Ajakan kompromi ditolak Laksamana.

Pansus digelar dengan menyontek tudingan dari KPP. DPR, yang gagal mengajak kompromi, mengambil alih peran jaksa dan hakim sekaligus, ngotot bahwa penjualan dua tanker itu merugikan negara. Laks yang pernah menjadi anggota DPR (1999) ini tak disangka dikerjai oleh rekan rekannya. Bahkan pelopor yang mengerjai rekannya mantan rekan satu partai.

Setelah memeriksa selama dua tahun, KPK berpihak padanya. Kerugian negara, dinyatakan, belum dapat dibuktikan, “mengingat belum diperolehnya harga pasar dan pembanding kapal tangker yang wajar,” kata Taufiqurrahman Ruki, Ketua KPK masa itu. (hal 89)

Kejaksaan Agung yang sebelumnya menyelidiki dugaan kerugian penjualan dua kapal VLCC itu pada Januari 2009 lalu menghentikan kasusnya, merujuk pada putusan MA, kerugian negara tidak terbukti.

“Betapa gencarnya beberapa pimpinan Pansus melakukan tekanan demi tekanan dengan nalar yang terbelenggu (tidak masuk akal) terhadap KPK dan Kejaksaan Agung. Dari jejak digital yang saya kumpulkan tampak dengan jelas bahwa ganas dan merawak rembang mereka itu untuk mencapai tujuan memenuhi birahi kedzamimannya. (132)

SAYANGNYA buku yang dilengkapi foto dan kliping media ini tidak dengan cerita kelanjutannya, mengapa dia hengkang dari partai banteng, yang membesarkannya di pentas politik, dan cerita pendirian Partai Demokrasi Pembaruan bersama Roy BB Janis (alm). Lalu setelah itu, seakan menghilang.

Tapi, nampaknya, panggung politik nampaknya mencandu. Meski banyak dikecewakan, Laksamana Sukardi tak kapok. Februari 2023 lalu, CNN Indonesia memberitakan, Bung Laks resmi bergabung dengan Anas Urbaningrum dan I Gede Pasek Suardika, sebagai kader baru Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) di kantor pusatnya di Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam momen itu, Laks mengenakan jaket partai. Welcomeback to the Jungle. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.