Tiga anak kecil di kampung dengan bangga mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah kampung terpencil, seadanya, sebisanya.
Masih suasana Perayaan 17 Agustus. Lomba di berbagai wilayah di pelosok Indonesia masih berlangsung di tengah pandemi. Menurut info Kementerian Kesehatan, maraknya suasana perayaan 17 Agustus di Istana dan berbagai tempat, bukti pandemi dapat diatasi. Ini sekedar apologia saja. Pembenaran saja.
Sebab seminggu sebelumnya, ada pengumuman bahwa perayaan 17 Agustus, sebaiknya dilakukan seadanya, tidak menimbulkan kerumuman masal dan menjaga protokol kesehatan. Di berbagai wilayah, bahkan 16-18 Agustus diberi peringaan keras. Tapi ya sudahlah. Sudah terjadi dan semoga sehat semua tidak menambah yang sakit.
Menjaga Kerumunan
Di perumahan Residence One, Serpong Utara, yang biasanya diramaikan dengan berbagai perayaan 17 Agustus, nyaris hanya ramai dengan pengibaran bendera di sepanjang jalan utama dengan 320 umbul-umbul. Lomba dilakukan online. Bakat-bakat terpendam yang biasanya muncul setiap tahun, ditiadakan. Residence One lebih fokus pada keramaian pemasangan bendera dan umbul-umbul serta inti perayaan yakni Upacara Pengibaran Bendara 17 Agustus.
Begitu juga di perumahan lain, bahkan di kampung-kampung, seperti Jelupang, Pondok Jagung hingga Bintaro dan Summarecon, dan BSD, antusias orang ikut upacara, wajib diacungi jempol.
Seorang nenek usia 76 tahun, terlihat susah payah menancapkan bambu untuk mengibarkan bendera Merah Putih, yang meski jatuh bangun, akhirnya dapat juga. Dengan bangga nenek yang tinggal di sebuah kampung entah di mana – gambar itu dilihat di facebook tanpa menyebut nama dan tempat kejadian – memberi hormat dan dengan jalan terhuyung-huyung, duduk di depan teras gubugnya, lalu memandang bendera Merah Putih dengan tersenyum.
Kejadian itu, sungguh bertolak belakang dengan beberapa rumah mewah, dan juga beberapa di pinggir jalan kampung yang sama sekali tak mengibarkan bendera. Sejak 1 Agusus, bahkan hingga tulisan ini dibuat, masih banyak yang tak mengibarkan bendera. Termasuk rumah sebelah sayapun tak ada bendera berkibar.
Dimana Nasionalisme
Tak punya bendera ? Tak tahu bagaimana mengibarkan bendera, atau malas mengibarkan bendera. Dari pengibaran bendera setiap 17 Agustus saja akan tampak betapa orang-orang itu acuh terhadap peristiwa syukuran atas kemerdekaan Indonesia. Rasa nasionalismenya wajib dipertanyakan. Tak ada alasan orang tak mampu membeli sebuah bendera yang harganya Rp 10,000 hingga Rp 100,000. Tetapi kecintaan terhadap negara dan bendera merah putih, di saat yang atepat, memang tipis.
Padahal bendera Merah Putih itu, sejarahnya dikibarkan pada tahun 1292 M oleh tentara Jayakatawang ketika berperang melawan kekuasaan Kertanegara. Bendera Merah Putih digunakan kembali oleh para pelajar nasionalis pada awal abad ke 20 sebagai bentuk protes dan ekspresi nasionalisme melawan pemerintah Belanda. Ketika merdeka. bendera Merah Putih dijadikan sebagai lambang perlawanan, kebanggaan dan rasa syukur atas kemerdekaan, tak dipahami mereka yang enggan mengibarkannya.
Apalagi diminta ikut upacara Pengibaran Bendera perayaan 17 Agustus. Orang harus keluar rumah, memakai baju pantas atau batik bahkan kebaya, lalu berpanas-panas mengikuti upacara kenaikan bendera. Dibutuhkan sedikit saja rasa mencintai negeri ini, rasa bersyukur dan kebanggaan ikut upacara 17 Agustus atau upacara kenaikan bendera merah putih.
Mengisi Kemerdekaan
Bahkan jika ikut lomba 17an atau menajdi panitia 17an adalah bukti warga negara yang bersyukur atas pemberian kemerdekaan tanah air dari para pendahulu kita. Ini cara mengisi kemerdekaan yang paling sederhana namun dibutuhkan negara ini.
John F Kennedy, sahabat Bung Karno pernah berkata,” Jangan tanyakaan apa yang negara berikan pada kalian, tapi tanyakan apa yang engkau berikan pada negara ini”.
Kalau memberi sedikit waktu dengan mengibarkan bendera atau ikut upacara 17 Agustus saja, enggan, sulit memberi porsi lebih banyak pada orang-orang seperti ini untuk memberikan yang lebih pada negara.
Mengibarkan bendera atau tidak, ikut upacara atau tidak, oleh sebagian orang yang tidak sepakat dengan tulisan ini, bisa diperdebatkan sampai ke urat leher. Selalu ada dalil yang ndakik-ndakik dengan pengetahuan tentang nasionalisme atau kecintaan negeri ini yang membubung tinggi dengan kutipan orang-orang heibat. Padahal bentuk nyata mengibarkan bendera dan ikut upacara 17an atau lomba perayaan syukuran 17 Agustus, adalah cara bersyukur yang lebih simpe dan tak perlu pasang urat.
Sulitnya Persatuan
Tapi begitulah gejala orang yang tak mampu memiliki rasa syukur. Sama dengan mereka yang dengan keras mengkritik upacara 17 Agustus di Istana negara yang diisi dengan nyanyian dangdut kopplo anak jalanan. Terlebih dengan tambahan joged oleh para pejabat negara. Acara ini dikritik habis-habisan oleh nama-nama populer di media massa.
Selalu hal yang kecil, remeh-temeh dijadikan alasan untuk mengkritik atau mencari-cari kesalahan. Tapi inti dari pesan moral dalam mengangkat orang jalanan yang miskin yang ditinggikan, tak terlihat. Bahwa acara hiburan itu bertele-tele dan lebai, benar. Tapi mari juga dinilai dari niat baik mengangkat harkat dan nasib orang tak berpunya ke puncak kekuasaan, meski hanya sesaat.
Benar juga ucapan Bung Karno,” Perjuanganku melawan penjajah itu mudah. Namun perjuangan kalian melawan bangsa sendiri akan sulit”.
Ucapan Bung Karno ini, sekarang selalu dihadapi oleh siapapun yang menjadi presiden Republik Indonesia. Terutama zaman Bung Karno dan Presiden Joko Widodo. Lihatlah bagaimana seorang presiden yang bekerja sungguh-sungguh tetap saja selalu dinyinyiri, dan diejek setengah mati.
Tetapi sejarah juga mencatat, orang baik, presiden yang nasionalis yang memperjuangkan negara, bangsa dan tanah air secara nyata, akan dicatat dengan tinta emas. Selamanya.
TULISAN LAIN:
Restropeksi Menjelang 17 Agustus
Mengisi Kemerdekaan Dengan Apa ?