Beragama Tapi ‘Ngiblis’

Ibuku aktif koor (paduan suara) gereja. Dia punya kawan yang juga aktif koor. Namanya tante Angel. Dia ini ibu-ibu juga. Mereka berdua dan kawan-kawan satu grup koor, umumnya adalah ibu rumah tangga. Mereka giat berlatih dengan kesadaran yang sama : ini kerja buat Tuhan. Ini pelayanan.

Apalagi usia mereka sudah senja. Banyak yang bilang ‘kami sedang ngumpulin bekal, ibarat beli tiket ke surga’. Tadinya aku mau kasihan sama Tuhan, surganya dianggap dufan atau bioskop. Tapi sejurus kemudian, aku nggak jadi kasihan. Tuhan pasti sangat dewasa dan bijaksana… sehingga memahami niat batin mereka yang tulus. Yang tidak sedangkal pernyataan beli tiket itu.

Ya, Tuhan memang nggak butuh dikasihani apalagi dibela. Beliau pasti memaklumi hati setiap umatnya. Meskipun umatnya belum tentu memahami isi hatinya sendiri.

Nah kali ini aku mau bicara soal manusia yang belum tentu memahami bisikan hatinya ini… alias belum mampu mengenali apa yang diinginkan jiwanya… Jiwa yang adalah SERPIHAN energi ilahi.

Kok bisa gitu?

Ya bisa banget. Karena kita ini hidup di tengah masyarakat. Dan umumnya suka menghakimi. Padahal, pengetahuan mereka kurang. Kedewasaan mereka (meskipun umurnya sudah banyak) belum tentu terbentuk. Parahnya, dimana-mana itu, orang yang kurang pengetahuan dan kurang dewasa, adalah pihak yang paling kejam kalau nyinyirin orang. Apalagi kalau mereka terkena cuci otak pemimpin agama atau ketua persekutuan doa…. yang entah macam mana lagi settingan egonya.

Orang yang pengetahuannya banyak dan bijaksana…. malah nggak berisik. Dan juga nggak mudah terpengaruh oleh hasutan pencari kekuasaan informal yang bersembunyi dibalik jubah keagamaan.

Sedihnya, banyak umat yang tulus mencari perkenan Allah (ridho Allah), bukan orang yang cerdas. Bukan juga orang yang mampu ‘mendengarkan’ suara batin yang lirih.

Mereka terpengaruh oleh hiruk-pikuk penghakiman yang sebetulnya bisa terlihat jelas sebagai ‘omong kosong’


Suatu hari, bu Angel (orang yang kuceritakan di paragraf pertama) tidak datang latihan koor. Suaminya stroke dan harus opname. Teman-teman koor kompak mengunjungi. Membawakan makanan, berusaha meringankan beban.

Suami yang stroke itu, setelah melewati masa krisis, diperbolehkan pulang ke rumah. Tapi masalah tidak berhenti di sana. Kebutuhan nafkah rumah tangga mereka menghadang. Perusahaan kontraktor milik suami, terpaksa ditutup. Karena istrinya tidak tahu apapun soal bisnis itu. Padahal anak-anak masih perlu dibiayai kuliahnya.

Ibu Angel lantas memutuskan buka usaha catering dan baking. Sambil merawat suaminya yang terbujur lumpuh di rumah.

Usahanya dengan segera melambung tinggi. Awalnya customernya adalah orang-orang gereja yang mengenal dia sebagai solis yang suaranya emang keren… semua ingin membantu. Kompak banget. Dan karena masakannya juga enak, serta dia ternyata punya bakat manajerial yang baik (berkat dedikasinya sebagai IRT yang serba bisa mengatur semua keperluan rumah, keperluan anak, dan keperluan suami), cateringnya melejit jadi catering pernikahan juga. Pakai pelayan dan jasa gubuk-gubuk indah.

Dengan segera cateringnya masuk jajaran catering ternama di Jakarta.

Di saat itulah, semenjak dia sibuk mengelola bisnisnya, kawan-kawan koornya mulai nyinyir :

  • kok nggak latihan lagi?
  • kok nggak pelayanan lagi?
  • ngejar harta kapan puasnya? Udah tua juga…

Mereka nggak peduli, setiap latihan pasti ada kue-kue untuk semua peserta…kiriman bu Angel. Seragam-seragam koor juga dibiayai oleh Bu Angel. Anggota koor yang mau bikin arisan, tunangan, nikahan dikasih diskon besar2an. Semua itu terjadi di depan mata mereka, dan mereka tidak peduli…! (Mana mereka dan kita tahu? Jika bu Angel juga membayar perpuluhan dan plus membiayai kembang-kembang gereja dan keperluan ibadah lainnya, seperti membiayai cuci korden, memperbarui seragam misdinar yang telah lusuh? Kan dia nggak perlu pamer kalau sudah sedekah ini-itu to?)

Tapi di mata para ‘tukang koor’ itu pelayanan hanya bisa dilakukan lewat nyanyi…! Tidak bisa diwakili oleh pasokan kue rutin, dan biaya seragam rutin. Tidak peduli sibuknya kamu cari duit, pokoknya harus sempat nyanyi..!

Yungalah… apa mereka nggak bisa mikir? Misa itu diselenggarakan setiap sabtu dan minggu to..? Makanya nyanyinya juga di hari Sabtu dan Minggu to? Apakah pengetahuan umum mereka segitu kurangnya, sehingga juga tidak tahu bahwa acara pernikahan yang butuh dicateringin itu juga terjadi di hari Sabtu dan Minggu..? Lalu kapan bu Angel bisa bekerja cari nafkah, kalau Sabtu dan Minggu harus koor..? Emangnya banyak orang yang nikah di hari Senin? Selasa? Rabu..?

Jangan samakan lah, kesibukan Angel dengan peserta koor yang bekerja sebagai karyawan….! Karyawan-karyawan ini bisa melakukan pelayanan gereja TANPA ninggalin tugas kantornya…! Lha wong kerja kantorannya di hari Senin sampai Jumat…!

Jangan samakan dengan ‘penggila uang’ lainnya, karena Angel harus merawat biaya stroke yang banyak (karena membutuhkan kontrol suster dari rumah sakit, butuh bed khusus ala rumah sakit, butuh tabung oksigen dan aneka rupa alat kesehatan. Plus butuh genset untuk antisipasi listrik mati)

Angel banting tulang cari nafkah, bukan ngumpulin harta…! Astaga… apakah hal ini sulit dilihat?

Singkat cerita… bu Angel masih bisa bertahan dalam diam dan menerima semua tuduhan itu tanpa marah. Dia tetap setia mengirim kue-kue, bahkan nasi kotak untuk makan malam seluruh peserta koor kalau akan ada acara besar. Dia tetap setia membiayai seragam-seragam koor.


Sampai suatu hari, bu Angel jatuh sakit. Dan dilarikan ke rumah sakit, ternyata cancer.

Ada 1 anaknya yang sudah menikah, dan membantu di bisnis ibunya. Sekarang anak inilah yang membiayai ayahnya yang stroke di rumah, ibunya yang sakit di Rumah Sakit (waktu itu belum jaman BPJS ya.. dan biaya penyembuhan kanker bisa 1 milyaran!)… sekaligus membiayai kuliah tingkat akhir adik-adiknya.

Dan kamu tahu, apa kata SALAH SATU penyanyi gereja itu pada Angel?

“Kamu sih, berhenti melayani Tuhan. Makanya Tuhan jadi marah. Kesehatanmu diambil, supaya kamu ingat lagi sama Tuhan.”

Dan pendapat ini disetujui ramai-ramai oleh peserta lainnya…!!!

Ibuku galau, mengadu ke aku

Saranku cuma : panggil pastor yang bijaksana. Kasih nasehat buat semua rombongan bloon itu. Sekalian biar bu Angel juga dengar bahwa Tuhannya bukan bermental ABG yang dendaman.

Lalu USIR semua penyanyi koor. Nggak usah nengok-nengok lagi. Bikin rusuh aja. Kayak iblis…! Jahat banget mulutnya..! Disembur ke orang yang sedang sakit, pula.

Beberapa bulan kemudian, bu Angel berpulang. Meninggalkan suami yang masih sakit, anak-anak yang sudah siap mandiri, dan sebuah usaha yang bisa memenuhi kebutuhan nafkah semua keluarganyanya…

Aku yakin, Tuhan menyambut pahlawan kehidupan seperti dia…


Kawans, please jaga mulut kita ya, untuk tidak menghakimi secara kejam pada orang sakit, atau orang yang sedang ditimpa kesusahan hidup, seperti kematian anggota keluarga atau bangkrut.

Please lah… Agama jangan cuma jadi lencana dan identitas diri. Kita ini BERAGAMA…! Bukan nge-geng. Ngapain petentang-petenteng pakai seragam, merasa bangga ada di 1 kelompok, lalu menghina siapapun yang bukan 1 kelompok dengan kita.

Norak, tau.

——
*Beragama tapi ‘ngiblis’ bisa terjadi pada umat aneka agama. Postingan ini bersifat inklusif (buat semua)

Berdasarkan kisah nyata. Nama orang dan detail kisah, sudah diganti demi melindungi identitas

(Nana Padmosaputro)

Avatar photo

About Nana Padmosaputro

Penulis, Professional Life Coach, Konsultan Tarot, Co.Founder L.I.K.E Indonesia, Penyiar Radio RPK, 96,3 FM.