Berani malu? Biasa. Coba amati di sekitar kita. Apa yang kita lihat?
Budaya “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah” tumbuh dengan subur ibarat jamur di musim penghujan.
Pemandangan sehari-hari itu dengan mudah dapat dijumpai, ketika kita berhubungan dengan kepentingan pelayanan publik, baik di kantor pemerintahan maupun swasta, pelabuhan, pasar, dan sebagainya.
Penyakit pungli (pungutan liar) yang kronis telah menyusup di berbagai sendi kehidupan. Meminta uang tidak lagi main pat-gulipat secara sembunyi, tapi berani secara terus terang tanpa perasaan malu.
Miris? Tapi bisa berbuat apa, karena kita tidak berani berkata, “Tidak untuk pungli!” Alasan kita, kita takut dipersulit, tidak memiliki banyak waktu, ingin cepat beres, dan seterusnya.
Padahal, ketika kita sendiri tidak mau repot untuk mengikuti aturan, berarti kita merestui perbuatan tercela itu. Kita juga memiliki andil yang besar dalam menyuburkan budaya pungli.
Berbeda masalahnya jika kita berani menolak perbuatan tercela itu untuk mengurus kepentingan sendiri, tanpa melibatkan calo. Tujuannya, agar kita semakin mengetahui transparansi dan biaya yang sebenarnya.
Berani menolak kong-kalingkong itu luar biasa, karena kita diajak untuk menjadi pribadi yang bersikap tegas dan jujur. Kita juga semakin mengenali dan paham terhadap tipe orang yang menjual belas kasihan untuk kepentingan sendiri.