Oleh DIMAS SUPRIYANTO
Di Indonesia mereka dikategorikan sebagai umat Hindu dan masuk PHDI tapi mereka bukan Hindu. Mereka menentang kasta. Destar sebagai penutup kepala adalah identitas mereka. Di jalan dan sekolah negeri masih mengalami diskriminasi.
UNTUK kesekian kalinya, Seide.id mendapat keberuntungan untuk berjumpa dan bercengkerama dengan sosok dari yang selama ini asing. Asing karena tidak dekat, karena belum kenal. Setelah dekat tidak asing lagi.
Orang yang kami jumpai ini adalah Prem Singh – anggota dan juru bicara dari komunitas Sikh di Indonesia. Dia aktif di Komunitas Lintas Iman sejak usia 17 tahun dan kini berusia 22 tahun.
Kini dia menjabat sebagai Wakil Sekolah Minggu bagi umat Sikh. Di usia relatif muda wawasannya luas dan jauh . Prem Sing sudah nampak mapan dan lancar tutur bicaranya. Runtut menjelaskan pikiran pikirannya.
Prem Sing menyajikan kopi susu ala India dan roti keju saat menjamu kami; Seide.id dan Lilik Sugianto Lie, aktivis GUSDURian – dan anggota Komunitas Lintas Iman – yang khusus menyambanginya, Jumat siang itu, di kompleks Hellomotion High School Jl. Merpati Raya Ciputat, Tangsel.
Singh adalah nama khas dan nama belakang bagi penganut ajaran Sikh. Mereka yang menggunakan nama Singh di belakangnya pasti orang Sikh. Demikian pula Sikh, pasti menggunakan nama Singh. Di belakang mereka biasanya ditambahi kampung halaman nenek moyang.
Ada lima ribu umat Sikh di Indonesia. Terbesar di Medan dan Jakarta. Di Bali juga. Di ibukota banyak kita jumpai di Pasar Baru, Sunter dan Kelapa Gading. Umumnya berasal dari wilayah Punjabi – India.
Prem Singh juga berasal dari Pasar Baru yang pindah ke Bintaro, dan keluar besarnya bisnis tekstil juga. Dia pun berasal dari Medan. Lahir dari ibu berdarah Batak, ayah Sikh. Ibunya ikut menjadi Sikh sejak awal pernikahan.
Ada sejumlah pernikahan umat Sikh dengan orang suku asli di Indonesia. Dalam keyakinan Sikh, pernikahan beda agama dilarang, sehingga harus ada yang mengalah salahsatunya. Apakah Sikh keluar dari komunitas, atau calon pasangan masuk ke Sikh. Mereka menikah di depan altar dan mengelilingi altar.
Ajaran Sikh muncul di abad ke 15, dicetuskan oleh Guru Nanak, sebagai perlawanan terhadap pemerintahan Hindu yang masa itu otoriter dan diskriminatif. Sikh menolak kasta. Sikh berkeyakinan semua umat Tuhan lahir setara.
Ajaran Sikh menyebut, “Satu Tuhan yang menciptakan dan bersemayam dalam semua ciptaanNya “
Hingga tahun tahun terakhir, Sikh dianggap bermasalah bagi otoritas India dan pemerintah India masih mendiskriminasi mereka. Membatasi akses publik, saluran air, listrik, obat obatan, dan hak warga negara, sehingga menimbulkan perlawanan.
Sikh memiliki kitab sendiri setebal 1.300 halaman. Tak ada umatnya yang bisa menghapal, dan memang tidak untuk dihapal, melainkan dipahami dan diamalkan.
Setiap tahun ada pembacaan seluruhnya, selama tiga hari dua malam non stop – dari Jumat Siang selesai Minggu siang, bergantian. Sampai “khatam”.
Tak ada kewajiban meng-khatam-kan kitab suci ajaran Sikh, karena memang berat, “Pendeta hebat juga belum tentu bisa selesai, karena dalam kitab kami, ada banyak ungkapan yang mirip, ” kata Prem Singh.
Pencapaian puncak umat Sikh adalah menerima kehendak Tuhan, bisa mengamalkan ajaran Sikh dari kitab suci, punya karakter mulia, akal berbudi, punya kepercayaan kuat.
Umat Sikh wajib memelihara rambutnya tetap panjang, siap mengorbankan nyawanya demi mempertahankan identitas. Membuka penutup kepala adalah penghinaan ajaran karena menyalahi identitas.
Umat Sikh mengalami empat kali pembaptisan atau baiat, yaitu saat lahir, saat menikah, dan saat meninggal. Di antara itu saat menetapkan komitmen. Menetapkan diri sebagai umat Sikh yang taat dan menerima segala resikonya. “Saatnya diserahkan pada kesiapan hati masing masing,” katanya.
Bagi yang mampu dianjurkan pergi ziarah ke Kuil Emas di Punjab.
Selanjutnya, mereka bukan Hindu