Berbincang dengan Prem Singh, Saudara Kita dari Umat Sikh

MASALAH yang masih mengganjal bagi umat Sikh di sini adalah masih dikategorikan sebagai Hindu. Padahal mereka bukan Hindu.

Di masa lalu, malah Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan KTP yang menyebut nama Sikh. Kini tidak lagi.

Setelah berabad abad, Sikh ingin dikenal karena ajarannya bukan pendirinya atau tokohnya. Karena menurut aturan sebenarnya penggambaran guru Sikh – Guru Nanak – merupakan hal terlarang, meskipin di Google ada saja yang melukisnya.

Tokoh Sikh di Indonesia yang terkemuka adalah AS Dilon, ahli pertanian – pernah jadi pejabat di era Gus Dur dan SBY. Tapi, menurut Prem Sing, AS Dillon bukan ulama Sikh melainkan penganut biasa. “Beliau itu cendekiawan ” katanya.

Lilik Sugianto Lie (GUSDURian), Dimas Supriyanto (Seide id) dan Prem Singh.

Umat Sikh berdoa tiga kali sehari, menjelang matahari terbit, saat matahari tenggelam dan malam menjelang tidur. Saat pagi doanya sekitar 30 menit, saat petang 20 menit, malam hari 15 menit.

Ajaran Sikh melarang umatnya memotong rambut. Itu sebabnya mereka menggelung dan menutupnya dengan kain turban. Disebut Destar. Berukuran lebar sekitar 40 Cm dan panjang lima meter. Ritual rutin Prem Singh dan umat Sikh, saat bangun, selain berdoa adalah menutupi rambutnya dengan kain.

“Kalau sudah biasa, paling lama lima menit, ” katanya. Jika tidak digelung, panjang rambutnya sepunggung.

Panjang kain untuk destar disesuaikan dengan panjang rambut. Saat masih remaja dan pendek, kainnya tipis juga. Warna kain tidak bermasalah. “Bisa disesuaikan dengan warna baju juga, ” kata Prem dengan senyum.

Sebagai bagian dari kaum minoritas, Prem Singh mengakui sering mengalami diskriminasi. Yang paling sering dirasakan adalah ditilang polisi saat naik motor – lantaran tak bisa pakai helm.

Di Medan dan Bali tak ada umat Sikh ditilang polisi, karena polisi di dua daerah ini paham dan toleran, katanya. Sedangkan polisi ibukota cenderung kaku dalam menerapkan undang undang.

Polisi Jakarta memang cenderung diskriminatif terhadap kaum minoritas. Juga memanfaatkan jabatan buat cari tambahan – kata saya.

Selain polisi, umat Sikh kerap bermasalah dengan sekolah negeri, katanya. Aneh. Sekolah negeri yang seharusnya menerima keberagaman, pada praktiknya cenderung kaku. Apalagi banyak guru yang belakangan ini jadi kadrun. Terpapar paham Islam radikal. Islam intoleran.

“SMA saya di sekolah Katolik jadi aman. Sekolah Katolik lebih toleran, ” katanya. “Tapi saya beberapa kali menerima pengaduan diskriminasi” ungkapnya.

Di Malaysia, dengan 100 ribu populasinya, Umat Sikh sudah diterima dan haknya setara dengan umat agama lain. Kepala Polisi Nasional dari Sikh dan memakai turban khas Sikh. Juga tentaranya. Di Kanada, aparat negara Sikh juga menunjukkan identitas Sikh-nya.

Setelah ngobrol lama, kami dibawa ke ruang ibadah, dengan altar yang dihari lampu yang berpendar pendar. Ada kitab suci di sana, yang biasa dibuka. “Pernikahan pasangan Singh dilakukan di sini, ” katanya. Lalu diajak ke ruang aula di mana jemaah Singh biasa Sing bertemu dan berbicara setelah ibadah.

“Kadang sesama Singh ketemu jodoh di tempat seperti ini. Dulu memang dijodohkan orangtua, sekarang tidak lagi. Masing masing bisa menentukan sendiri, ” kata Prem.

Saya perkenalkan kepadanya istilah Jawa – yang asing baginya, Witing Tresno Mergo Kulino : cinta bisa tumbuh karena kebiasaan. Sering ketemu, banyak dialog, dan nyambung. “Itu benar, ” katanya, dengan senyum.

Dengan tutur katanya yang santun, runtut, Prem Singh sebenarnya nampak ‘good looking’. Saya menduga ada banyak cewek naksir padanya. Maksudnya cewek di luar komunitas Singh. Malu malu dia mengakui, “memang iya”.

Selain ditaksir cewek bukan orang Singh, dia mengaku naksir cewek yang bukan Singh juga.

Di kehidupan Sikh, hidup berkeluarga itu disyaratkan. Pendeta sikh boleh menikah. Tak ada selibat. Bertapa malah tidak dianjurkan. “Tapi kalau bermeditasi iya, ” kata pemuda setinggi 183 Cm ini.

Sejak lama saya peduli pada kebhinekaan dan keragaman. Dan saya segala bentuk menolak diskriminasi. Maka segala hal yang menyangkut diskriminasi saya mencari tahu.

Sungguh beruntung saya mengenal Prem Singh dan kami berharap bisa ketemu dan ngobrol lama lagi. “Senang sekali dikunjungi, ” katanya saat melepas kami ke mobil, menuju stasiun KRL Jurang Mangu.***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.