HANDRAWAN NADESUL
Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet
Tahun 80-an saya menulis opini di Harian Kompas ihwal masyakarat yang berdisiplin dengan mesin. Belajar dari Singapura di awal, yang menghukum orangtuanya bila anak membuang sampah sembarangan. Lalu menegakkan negara tertib dengan berdisiplin memakai hukuman. Maka Singapura dijuluki “Fine Country”, apa-apa serba didenda.
Sekarang kita melihat Singapura tergolong negara paling berdisiplin. Semua patuh dan manut pada aturan negara. Tidak nyaman kalau melihat ada yang tidak berdisiplin. Awalnya terbiasa dihukum, lama-lama menjadi perilaku tertib, lalu menjadi karakter, akhirnya menentukan nasib diri sendiri, dan bangsanya. Memang terasa kurang manusiawi. Tapi itulah pilihan bernegara agar beradab.
Berdisiplin sejatinya diciptakan di sekolah. Bukan saja konsep, dogma, atau sudah seharusnya, melainkan untuk membentuk karakter. Lebih dari hanya ikut aturan, berdisiplin juga menyiratkan 4 hal seturut kejiwaan, yakni menjunjung tinggi kebenaran, maka tidak terbiasa berbuat serong atau culas. Sejak di sekolah ada aturan ketat, menyontek berati dikeluarkan dari sekolah, sudah besar kelak diprediksi tidak korupsi. Kedua, menerima tanggung jawab, berarti membangun jiwa ksatria. Bahwa dalam hidup manusia bisa salah, tapi berani mempertanggung jawabkan. Ketiga, menunda kepuasan, artinya bukan saja berani berkeringat, melainkan ada potensi meraih sukses, kalau selain kerja keras, juga bersikap berakit-rakit ke hulu, yang tidak enak dan berat dikerjakan dulu, baru yang enak-enak kemudian. Bikin PR dulu baru bermain. Anak yang cara makannya yang tidak enak dimakan dulu, yang enak dimakan belakangan, membentuk karakter hidup sukses. Keempat, hidup seimbang dunia-akhirat, artinya tidak terlampau duniawi sehingga spirit hidupnya bukan treadmill hedonism, tak henti terus mengejar uang tak puas-puasnya, tapi tahu kapan waktunya stop. Sadar pilihan sak madyo, enough is enough. Tidak juga memikirkan hanya akhirat sehingga memilih tidak berikhtiar.
Prihatin kita menyaksikan sebagian besar saudara sebangsa yang kurang, atau tidak berdisiplin. Kesmerautan berlalu lintas potretnya. Masalah sampah, masalah belum selesainya menekan angka penyakit menular, peliknya mengajak warga bangsa imunisasi apa saja, mengajak ikut ber-KB, dan menyadari pentingnya anak wajib bersekolah.
Tidak berdisiplin sebagian warga bangsa, menjadi beban pemerintah, beban negara, dan ongkosnya tidak kecil. Bencana alam sebagian besar, sebab ulah tangan manusia, man-made, banjir dan longsor, andil akibat ulah sebagian besar warga bangsa.
Masalah besar nasional kita berhulu dari lemahnya kedisiplinan warga bangsa, selain menjadikan peliknya menyelesaikan. Larangan mudik sampai harus mengerahkan barikade pasukan, dan mekanisme pertahanan seolah bukan sedang dalam keadaan damai. Dengan begitupun masih saja ada yang tidak patuh dan menerobos menjebol sekat-sekat penjagaan. Jalan tikus diterobos untuk bisa lolos pulang mudik.
Berdisiplin dengan mesin berarti masih perlu ada penjaga. Penjaganya adalah mesin CCTV, mesin otomatik di stasiun KA, mesin absensi, dan mesin pengawasan lainnya.
Tidak dinafikan betapa rasa rindu pulang kampung, dan kita berempati. Tapi sikap-pikir-laku mendahulukan kepentingan orang lain, kepentingan bangsa, mestinya tiba pada keputusan untuk bisa tulus ikhlas menerima dan patuh ikut aturan. Bahkan sekalipun tanpa perlu dijaga serupa mekanisme berdisiplin dengan mesin, bahwa itu demi kepentingan orang banyak, kepentingan bangsa.
Namun nyatanya memang harus berdisiplin dengan mesin. Harus dijaga, bukan kesadaran diri. Di mata kehidupan moral, ini masih kelas moral perlu orang lain untuk patuh. Baru patuh kalau ada polisi, kalau ada penjagaan, kalau ada hukuman. Demikian pula wajib memakai masker, baru kelas takut dihukum, bukan menyadari untuk penentingan diri sendiri selain agar tidak merugikan orang lain.
Revolusi mental dimulai dengan bersekolah dan menjadi orang terididk. Bila kurikulum tepat dan metode pendidikan demi menciptakan insan beradab, karakter anak bangsa tidak harus terus membebani negara, dan menyusahkan bangsa. Dengan terdidik, terbangun nalar etis, nalar literasi, selain nalar ilmu.
Salam literasi,
Dr HANDRAWAN NADESUL