Oleh SYAH SABUR
BERITA terungkapnya kasus prostitusi online di Jawa Timur mendominasi hampir semua layar kaca. Nyaris semua stasiun televisi menjadikkannya sebagai berita utama atau headline.
Topik panas ini mengalahkan topik lain seperti hoaks 70 juta surat suara yang sudah dicoblos, keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan kisi-kisi soal debat bagi kedua capres/cawapres, dan berita kisruh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS).
Tidak hanya itu, berita prostitusi online pun dikupas lengkap berbagai stasiun televisi. Lihat saja isinya, dari mulai tarif pakai artis, cara booking/cara pemasaran, fee untuk artis dan muncikari, hingga pemanfaatan artis, yaitu bisa dibawa jalan-jalan ke luar negeri atau luar kota. Tak pelak, tema prostitusi pun viral dan jadi trending topic. Menjadi bahasan di berbagai grup aplikasi obrolan (Whatsapp), Facebook atau Twitter. Juga menjadi perbincangan hangat di keluarga.
Hal yang juga menarik, bagaimana media (baca: stasiun televisi) menyebut nama orang-orang yang terlibat dalam prostitusi online. Sebagian media menyebut lengkap nama artis dan menayangkan wajahnya. Tapi, ada juga media yang menyamarkan namanya, namun menayangkan wajahnya. Ada juga yang menyebut salah seorang artis tapi artis, satunya lagi hanya disebut inisialnya.
Padahal, kedua artis tersebut masih berstatus saksi. Bahkan, polisi sempat menyebut keduanya sebagai “korban”.
Yang mengherankan, hampir semua stasiun TV cukup menyebut inisial muncikari dan menyamarkan wajah mereka. Padahal, kedua muncikari sudah berstatus tersangka. Ada juga media yang menyebut identitas “pemakai” jasa artis, lengkap dengan pekerjaan dan asal daerahnya.
Peraturan media.
Lalu, seperti apa peraturan di bidang media mengatur tentang pemberitaan kasus asusila? Kode Etik Jurnalistik (tahun 2006) Pasal 5 menyebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.
Dari situ sudah jelas, Kode Etik hanya mengatur atau melindungi “korban” kejahatan susila serta anak yang menjadi pelaku kejahatan. Tidak ada pasal yang mengatur tentang penyebutan saksi dan pemakai. Juga tidak ada aturan yang tegas tentang penyebutan muncikari yang jelas-jelas dianggap sebagai pelaku tindak pidana asusila.
Lalu bagaimana aturan yang menaungi bisnis pertelevisian? Ini yang “ajaib”. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sama sekali tidak mengatur bagaimana pengelola televisi dalam pemberitaan kejahatan asusila ini.
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) maupun Standar Program Siaran (SPS) yang dibuat KPI hanya mengatur secara umum tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan. P3 KPI misalnya, menulis, “Lembaga penyiaran wajib menghormati nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat”.
Ada pula Pasal 16 P3 yang menyatakan, “Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual”. Lalu SPS Bab V Pasal 9 Ayat 1 mengatur Penghormatan Terhadap Norma Kesopanan Dan Kesusilaan menyebutkan, “Program siaran wajib memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik terkait agama, suku, budaya, usia, dan/atau latar belakang ekonomi”.
Sedangkan ayat 2 hanya menyatakan, “Program siaran wajib berhati-hati agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif terhadap keberagaman norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh masyarakat”. Tanpa sanksi
Tidak jelas, mengapa KPI tidak mengatur secara terang dan tegas tentang pemberitaan kejahatan asusila ini. Terhadap aturan yang ada pun, KPI tidak pernah memberikan sanksi.
Beberapa tahun lalu, misalnya, heboh Ahmad Fathonah ditangkap KPK bersama seorang perempuan yang berstatus mahasiswi. Fathonah belakangan terbukti sebagai pelaku korupsi kasus impor sapi bersama Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Dalam kasus tersebut, media bukan saja mempermalukan sang mahasiswi melainkan juga kedua orangtuanya, kakak-adiknya sekaligus keluarga besarnya dan kampusnya.
Padahal, tindakannya sama sekali tidak terkait dengan perbuatan korupsi yang menjerat Fathanah. Uang Rp10 juta yang diterimanya pun langsung disita KPK.
Selain itu, berbagai media pun sering memberitakan penggerebekan hotel kelas melati atau tempat hiburan malam yang diduga dijadikan tempat “esek-esek”. Dalam razia tersebut, tak sedikit stasiun televisi yang menampilkan wajah orang-orang yang dirazia. Padahal, belum tentu orang tersebut melakukan kejahatan atau kesalahan.
Sebab, bisa jadi orang yang datang ke tempat hiburan malam hanya untuk sekadar ngobrol, minum atau menikmati musik. Tapi di mata mayoritas pemirsa, langsung muncul stempel bahwa mereka pelaku “kejahatan” atau “tindak pidana” yang berkaitan dengan tindakan asusila.
Bersifat Privasi
Kalau pun orang yang terekam kamera memang pelaku “esek-esek” –berbeda dengan kasus korupsi, misalnya– perbuatan mereka tidak secara langsung merugikan negara dan bangsa/rakyat. Masalah tersebut lebih bersifat privat yang berkaitan dengan pelaku dan keluarga mereka. Tapi ketika identitas mereka diungkap, maka keluarga besar pelaku pun ikut tercoreng.
Selain itu, dengan mengungkap razia di hotel melati, media pun “mengamini” tindakan diskriminatif polisi atau Satpol PP. Sebab, selama ini razia “esek-esek” hampir selalu hanya dilakukan di hotel kelas melati, bukan di hotel bintang lima. Padahal, sulit dipungkiri bahwa perbuatan serupa tidak terjadi di hotel berbintang. Siapa tahu, perbuatan serupa justru lebih banyak terjadi di hotel berbintang.
Karena itu, media harus benar-benar bijak dalam menyikapi pemberitaan kasus asuslia ini. Tidak cukup hanya berpedoman pada Kode Etik Wartawan maupun aturan yang dibuat KPI yang tidak secara tegas dan jelas mengaturnya.
Dalam hal ini, para pengelola media perlu juga memakai kode etik atau hati nurani sendiri. Apakah semua kejadian di masyarakat perlu diberitakan secara terbuka? Tidakkah media perlu mempertimbangkan dampak negatif dari suatu pemberitaan, khususnya yang berkaitan dengan tindak asusila? Apakah rating mengalahkan aspek lain dalam bidang jurnalistik seperti magnitude dan dampak? ***