Beritamu adalah Kastamu (bagian 2/habis)

press-man

Bahasa dan Sikap Etis: Dari segi etika pilihan kata kelakuan pada judul dapat dikatakan menunjukkan nihilnya empati atau setidaknya pudarnya empati. Pudarnya empati juga terlihat pada banyak berita lain tentang musibah yang menimpa keluarga Ridwan Kamil yang terbit di media lain. Setidaknya judul-judul berita ke-2 hingga ke-5 di atas menunjukkannya.

Oleh WILLLY PRAMUDYA *

RENDAHNYA empati – bahkan tidak jarang: nihilnya empati– pada banyak (awak) media kerap terlihat dalam penggunaan bahasa, yang merupakan satu-satunya alat untuk merekonstruksi peristiwa (dan memberitakannya). Selain rendah bahkan nirempati, banyak media kerap memberitakan peristiwa secara tidak jujur. Kita sama tahu bahwa nihilnya kedua hal itu berarti telah terjadi pelanggaran etik.

Pertanyaannya, mengapa muncul praktik bermedia dengan empati yang rendah bahkan nihil terhadap subjek berita pada kalangan yang menyebut pekerjaan mereka sebagai profesi? Mengapa muncul praktik bermedia yang kerap merendahkan publik (pembaca)? Bukankah setiap profesi mensyaratkan antara lain pemenuhan atas standar kompetensi dan ketaatan kepada kode etik pada pelakunya?

Menurut hemat penulis penyebab langsung bahkan sumber masalahnya ada pada tatanan dan tuntutan dunia industri media yang tidak diimbangi oleh profesionalisme (dan independensi) dalam menghadapi kehadiran teknologi internet yang melahirkan kultur baru dalam kehidupan. Ada juga soal lain, yakni masalah kesejahteraan.

Namun sebenarnya gejala yang hadir sebagai masalah ini bukanlah hal baru. Situasi seperti ini sudah berlangsung jauh sebelum hadirnya media baru berbasis internet atau media daring (dalam jaringan). Ia sudah menggejala ketika media cetak dan penyiaran yang kini digolongan ke dalam media konvensional masih
berjaya.

Di dunia media penyiaran kerap terlihat awak media menjadi sasaran olok-olok karena cara kerja yang dianggap tidak profesional. Mereka dinilai tidak cukup kompeten dalam hal bersiaran (berkomunikasi secara lisan), khususnya saat bersiaran langsung untuk melaporkan peristiwa yang terjadi di lapangan. Di dunia media cetak gejala itu tampak pada teks berita (komunikasi tulis) bahkan ketika sedang melakukan wawancara.

Bersamaan dengan itu banyak (pelaku) media mengidap penyakit berbahasa berupa sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Penyakit ini bukannya menghilang ketika media baru berbasis internet hadir dan meudahkan setiap jurnalis belajar bermedia secara professional. Terlalu banyak media daring yang awaknya mengidap penyakit Bernama rabun (ber-)bahasa.

Untuk produk teks berita silakan menengok berita yang berjudul Kelakuan dan Kata-kata Ridwan Kamil dan Atalia Saat Jasad Eril Tiba di Indonesia Jadi Sorotan. Setelah membaca judul dan isi beritanya dengan seksama terlihat bahwa berita tersebut mengandung sejumlah masalah (besar). Selain masalah kebahasaan juga masalah etik.

Media tersebut memang menyatakan berita tersebut sebagai berita yang diambil atau dicomot dari media lain dengan menyebut nama medianya. Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Eril Tiba di Indonesia, Ridwan Kamil dan Atalia Praratya ke Awak Media: Terimakasih. Demikianlah bunyi pengakuan yang
tertulis pada “kaki” berita.

Harus diakui bahwa pengakuan tersebut merupakan tindakan yang baik. Bahkan etis. Apalagi jika mereka mengaku telah meminta izin dan mendapatkannya. Juga sangat mungkin di antara mereka telah terjadi perjanjian untuk saling mengambil berita.

Akan tetapi setelah membaca judulnya, Anda akan tercengang ketika membaca isi paragraf pertama dan sejumlah paragraf lain pada berita aslinya. Berikut judul aslinya: Eril Tiba di Indonesia, Ridwan Kamil dan Atalia Praratya ke Awak Media: Terimakasih. Silakan membandingkannya. Betapa jauh panggang dari api!

Anda akan semakin tercengang-cengang ketika membaca paragraf pertama berita aslinya: Muka sembab terlihat dari wajah Ridwan Kamil dan Atalia Praratya saat mereka berada di Human Remains Cargo Jenazah, Bandara Soekarno Hatta, Minggu (12/6/2022). Silakan membandingkannya dengan paragraf pertama berita comotannya: Kondisi Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan istrinya saat jasad Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril tiba di Indonesia(,).

Terlihat jelas bahwa media yang memuat berita comotan tersebut telah merombak total dengan sesika hati judul berita dan paragraf pertama berita aslinya.

Perombakan juga terjadi pada sejumlah paragraf lain. Bagaimana memahami perkara ini? Merombak total judul dan isi berita merupakan tindakan yang keliru dan tidak etis, terutama jika hasilnya jauh panggang dari berita aslinya. Kejujuran sebagai tindakan etis yang terkandung dalam pengakuan runtuh. Alih-alih ia hanya terlihat sebagai tindakan basa-basi dan upaya mengelak dari kemungkinan munculnya tuduhan plagiarisme.

Dari segi penggunaan bahasa kata kelakuan mudah terlihat sebagai hal yang mencerminkan kemiskinan diksi –meskipun mungkin disengaja untuk melayani mesin algoritma dan agar ramah SEO juga ramah mesin pencari demi mendulang kunjungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring (KBBI Daring) kata kelakuan memiliki arti (1) perbuatan; tingkah laku; perangai; dan (2) perihal; keadaan. Namun pada judul berita rombakan, kata itu dapat menimbulkan konotasi negatif.

Layak pula diingat bahwa judul adalah janji atau utang penulis (jurnalis!) kepada pembaca yang harus dibayar lunas melalui isi berita. Jika judul tidak sesuai dengan isi informasi yang ada pada tubuh berita berarti telah terjadi ketidakjujuran bahkan penyesatan. Keduanya tentu saja tergolong ke dalam praktik pelanggaran KEJ.

Paragraf pertama juga mengandung kesalahan berbahasa yang dapat dikatakan fatal. Ia hanya berisi kumpulan kata yang tidak layak disebut kalimat apalagi paragraf. Ia hanya sekadar kumpulan kata yang membentuk klausa dan berisiko belum menjadi satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran utuh. Silakan
menyimak kembali bentuknya:  “Kondisi Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan istrinya saat jasad Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril tiba di Indonesia,”.

Terlihat jelas bahwa bentuk kebahasaan tersebut bukanlah kalimat. Apalagi penulisnya memberikan tanda koma (,) pada bagian akhir. Paragraf yang pada berita aslinya berisi satu kalimat juga berubah menjadi bentuk kebahasaan yang rancu akibat hilangnya unsur terpenting kalimat: predikat! Makna dan maksudnya pun berbeda jauh dari makna dan maksud yang terkandung dalam paragraf aslinya.

Dari segi etika pilihan kata kelakuan pada judul dapat dikatakan menunjukkan nihilnya empati atau setidaknya pudarnya empati. Pudarnya empati juga terlihat pada banyak berita lain tentang musibah yang menimpa keluarga Ridwan Kamil yang terbit di media lain. Setidaknya judul-judul berita ke-2 hingga ke-5 di atas
menunjukkannya.

Penghadiran jurnalisme berempati dalam konteks terjadinya musibah, apalagi hilangnya nyawa manusia, adalah sebuah keharusan! Jika tidak ia telah melanggar bukan hanya KEJ melainkan juga etika publik. Bagaimana dengan media penyiaran?

Banyak orang merasa geram terhadap awak media penyiaran yang melakukan peliputan, terutama pada saat mereka mewawancarai korban, baik orang dewasa maupun anak-anak, saat terjadi musibah di area bencana. Siapa pun paham bahwa korban sulit menerima kenyataan yang menimpa mereka, mengalami kesedihan
berlarut-larut, dan berbagai persaaan menyakitkan lain hingga trauma.

Akan tetapi kerap terlihat awak media penyiaran –juga awak media dari platform lain—mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini. Pertama, pertanyaaan tentang perasaan korban yang kurang lebih seperti ini: bagaimana perasaan Bapak/Ibu/Anda/Saudara ketika/setelah tertimpa musibah ini? (Bahkan pernah ada
awak media yang tega menanyakan perasaan korban yang keluarganya meninggal!)

Kedua, pertanyaan lain yang kerap muncul sebagai pertanyaan tanpa empati adalah (1) pertanyaan tentang firasat, mimpi, atau tanda-tanda lain kepada korban sebelum musibah terjadi; (2) pertanyaan kepada paranormal dan permintaan untuk memprediksi sebagai hal yang sulit diverifikasi. Disiplin verifikasi wajib dijalankan setiap jurnalis!; (3) wawancara dengan anak-anak tanpa didampingi orangtuanta/orang dewasa/ahli.

Kasus-kasus lain

BEBERAPA tahun terakhir penulis kerap mengamati praktik pemberitaan oleh media pers daring. Apa yang diperoleh? Nihilnya empati yang tercermin pada bahasa tidak hanya berkaitan dengan peristiwa bencana atau musibah. Bahkan ia muncul dalam berita olah raga. Perhatikan penggunaan kata modar dan goblok berikut: (1)
Hantaman Super Daud Yordan Buat Petinju Argentina Modar; (2) Pukulan Maut D aud Yordan Buat Petinju Tengil Thailand Modar; (3) Mahasiswi Cantik Tapi Goblok Diperdayai Paranormal Cabul.

Beberapa waktu lalu, yakni pada 2020 publik marah terhadap penggunaan kata mengangkang atau ngangkang dalam berita pada sebuah media daring tentang atlet bulu tangkis dengan judul-judul berita antara lain (1) Duh, Pose Mengangkang Pebulu Cantik Kanada di Gym Bikin Ngilu; (2) Duh, Pose Mengangkang Bidadari
Bulutangkis Australia Bikin Ngilu.

Penulis sempat berharap bahwa setelah publik marah terhadap media yang memuat berita dengan kata mengangkang atau ngangkang pada judul berita di atas dan judul berita yang sepola, media tersebut tidak lagi melakukan pemberitaan dengan menggunakan judul yang sepola. Harapan yang sama juga penulis tujukan kepada media lain. Ternyata pada 2022 praktik pemberitaan serupa kembali terjadi sebagaimana tampak pada berita yang menggunakan kata modar.


JURNALISME adalah profesi. Setiap profesi menuntut pelakunya memiliki kompetensi yang standar dan teruji atau professional. Karena itu setiap jurnalis dituntut untuk bersikap professional.

Tugas utama jurnalis adalah membuat berita. Tugas media memberitakannya. Berita memang dapat disebut informasi tetapi tidak semua informasi dapat disebut berita. Berita adalah informasi yang (sudah) terolah dan teruji menurut standar atau prinsip pemberitaan yang sudah dirumuskan secara baku berdasarkan pengalaman empirik para pelakunya selama ratusan tahun.

Prinsip pertama yang harus dipegang adalah hanya mengabdi kepada kebenaran (berbasis fakta dan disiplin verifikasi); prinsip kedua adalah bersikap jujur dan taat etik baik Kode Etik Jurnalistik maupun etika publik. Oleh karena itu ada adagium bahwa jurnalis boleh bersalah tetapi tidak boleh berbohong.

Begawan jurnalisme Bill Kovach mengingatkan bahwa loyalitas jurnalis hanya kepada publik. Publik atau masyarakat adalah pemberi kekuasaan dan kebebasan pers. Oleh sebab itu kontrak kerja sejati jurnalis itu sebenarnya dengan masyarakat selain sebagai pemberi kekuasan dan kebebasan pers juga pemilik hak untuk
memperoleh informasi yang benar guna membangun pengetahuan yang akan digunakan untuk membuat keputusan, menentukan sikap, dan mengambil tindakan demi meningkatkan kualitas hidup dan martabatnya.

Untuk memenuhi kualifikasi ideal itu seorang jurnalis harus memiliki kompetensi. Salah satu kompetensi adalah kemahiran berbahasa dengan benar. Ada pandangan yang menyatakan bahasa seseorang mencerminkan isi kepala dan hati bahkan jiwanya.

Kita mengenal peribahasa yang berbunyi bahasa menunjukkan bangsa. Ayip Rosidi menafsir kata bangsa sebagai “bentuk ringkas” kata bangsawan. Namun kita juga bisa menafsir kata bangsa sebagai orang yang berkelas atau kaum profesional. “Bahasamu kastamu,” kata petesaurus cum penulis dan “polisi” bahasa, Eko
Endarmoko
. Berita juga demikian. Ia menunjukkan kasta penulisnya. Mengikuti jejak peribahasa tentang bahasa kita dapat membuat ungkapan bahwa berita menunjukkan kasta (jurnalisnya). Atau mengikjuti jejak Bung Eko Endarmoko kita dapat mengatakan: beritamu kastamu.

*Penulis adalah jurnalis senior/editor, guru jurnalistik/penulisan popular, dan
penyuka bahasa (Indonesia).

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.