Refleksi oleh Belinda Gunawan
Beberapa tahun lalu suamiku (sekarang almarhum) menjalani operasi, dilanjutkan dengan rawat inap yang entah akan makan waktu berapa lama, dan aku ikut bermalam di rumah sakit. Aku menemaninya dan turut merawat dalam arti, sigap memanggil suster bila pasien membutuhkan bantuan lebih dari yang bisa kuberikan.
Otomatis duniaku hanya di kamar itu saja, di lantai paling atas bangunan rumah sakit. Paling-paling aku keluar kamar menuju nurse station atau ke kasir mengurus pembayaran berkala.
Kalaupun aku pulang, buat apa? Menemui siapa? Suamiku ada di sini dan membutuhkanku. Anak-anakku datang setiap ada kesempatan, atau kalau aku membutuhkan mereka untuk berunding. Sanak keluarga dan kenalan berdatangan untuk menjenguk. Segala keperluanku, juga logistik, terpenuhi. Tapi bagaimanapun, ini bukan rumahku….
Setelah kondisi si sakit melewati masa gawat, aku merasa semakin jenuh di kamar itu, yang sekalipun besar dan dihuni satu pasien, tetap sebuah kamar perawatan. Oke deh keinginan pulang adalah mustahil, tapi setidaknya aku ingin ada perubahan suasana. Aku ingin keluar kamar… sebentar saja.
Pagi itu ketika pasien tertidur lelap, aku pun keluar dari kamar, mampir ke nurse station untuk pamit sekalian “nitip”, turun lift, keluar dari pintu utama. Aaaaah, leganya bisa menghirup udara yang tidak “bau obat”. Pelan-pelan aku berbelok ke kiri, menyusuri sepanjang dinding luar rumah sakit hingga ke belakang, berjalan sepanjang trotoar di sisi dinding belakang, lalu berbalik ke depan lagi.
Langit pagi yang cerah, hangatnya sinar matahari menerpa tubuh, sejuknya embusan angin yang sesekali bertiup, gerak pelan dedaunan dan bebungaan, membuat mood pelan-pelan terangkat. Bahkan mobil-mobil beraneka warna dan bentuk di pelataran parkir, dan bus Transjakarta yang sesekali melintas di jalan raya, menjadi hiburan tersendiri bagiku. Aku merasa siap melanjutkan tugas mendampingi suamiku di kamar rawat. Seminggu lagi? Dua minggu lagi? Siap saja.
Sekembali ke kamar, suamiku masih tertidur lelap. Aku duduk di pinggir jendela dan menatap lagi dunia luar yang kali ini hanya sebatas ukuran jendela. Pikiranku jadi menerawang. Aku bertanya pada diriku sendiri: Haruskah aku mengalami “kekurangan” dulu, merasakan “kegersangan” dulu, sebelum bisa menghargai berkah yang diberikan Tuhan secara gratis dan berkelimpahan? (BG)
“Alam, waktu dan kesabaran adalah tiga dokter yang jempolan.” – Peribahasa Cina.