Berpayung Mendaki Bibir Kawah Gunung Anak-Krakatau

Mendaki Anak Gunung Krakatau02

Erupsi merupakan ‘hobi’ harian Gunung Anak-Krakatau sejak ditemukan dan terindikasi kehadirannya di tahun 1927. Nyaris tiap jam, ada saja beberapa kali getaran di sekujur pulau-gunung itu, tersebab erupsi (besar ataupun kecil) kawah di kepundannya.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id 05/01/2023 – “Lho, naik gunung kok kudu bawa payung? Emang mau jalan-jalan ke Paris kala turun hujan?” gerutu sekaligus protes seorang sahabat muda, saat membaca juklak keikutsertaannya dalam trip backpacker ke Kepulauan Krakatau, dimana antara lain terdapat anjuran bahwa sebaiknya: “Jangan lupa membawa payung lipat, selain cukup bekal makan dan minum.

” Tapi syukurlah, ada dia sisipkan juga payung dalam day-pack di punggungnya menjelang mendaki, hi…hi…hi…!”

Cagar Alam Krakatau di Selat Sunda, yang (seperti Pulau Ternate dengan pucuk Gunung Gamalama) sebenarnya merupakan Pulau Gunung Api Anak-Krakatau dan sekaligus merupakan satu dari sekian biospire milik Indonesia yang telah mendapat pengakuan UNESCO, tak pernah lepas dari sorotan dunia. Akhir tahun lalu misalnya, persisnya tanggal 23 Desember 2022, kepundan Gunung Anak-Krakatau kembali erupsi menghasilkan awan cendawan panas yang lebar dan luas lingkarannya di langit Selat Sunda. Syukurlah ledakan besar kali ini tak sampai menimbulkan tsunami sebagaimana kerap terjadi, memporak-porandakan pesisir Banten, Lampung, dan sekitarnya.

Sebenarnya, dalam catatan kantor  pemantau aktivitas gunung api yang berlokasi di pesisir barat Banten, erupsi merupakan ‘hobi’ harian Gunung Anak-Krakatau sejak ditemukan dan terindikasi kehadirannya di tahun 1927. Nyaris tiap jam, ada saja beberapa kali getaran di sekujur pulau-gunung itu, tersebab erupsi (besar ataupun kecil) kawah di kepundannya.

Instansi resmi yang memantaunya baru memberitakan saat terjadi erupsi cukup besar agar masyarakat luas selalu waspada bahaya (tsunami dan lain-lain) yang ditimbulkannya

Gunung Anak-Krakatau merupakan bagian dari sejarah panjang ledakan gunung api yang mengguncang dunia. Bukan cuma semasih sebagai Gunung Krakatau yang meledak dahsyat di tahun 1883 (sebagaimana digambarkan dalam film klasik Hollywood bertajuk “Krokatoa – East of Java”), tapi juga di masa dia dikenal dalam dongeng-dongeng sebagai Gunung Batuwara.

Suatu kali di akhir dekade tahun 1970-an, di perpustakaan (bagian dari cikal-bakal Perpusmas RI) Gedung Gajah/Museum Nasional di Jalan Merdeka Barat – Jakarta, saya jumpa dengan tokoh pers nasional Soebagio I.N. Pada kesempatan itu almarhum Pak Bagio sempat menunjukkan kepada saya sebuah buku tua bertajuk Sedjarah Tanah Djawa, yang isinya berupa tembang-tembang yang ditulis dalam bahasa berhuruf Pegon.

Dikisahkan dalam tembang di buku itu, antara lain tentang keberadaan Gunung Batuwara yang di masa lalu meledak hebat, membelah sebuah pulau menjadi dua: Andalas (Sumatera) dan Jawi atau Jawa.

Dalam arsip lama tinggalan Kolonial Belanda juga tersebut adanya sebuah gunung api bernama Krakatau (813 d-pl) bergeming di Selat Sunda antara Pulau Andalas (Sumatera) dan Pulau Jawa. Itu kah sisa kerucut Batuwara yang di masa purba menyatukan Sumatera dan Jawa? Entah. Yang pasti Krakatau lantas mengguncang dunia saat meletus dahsyat di tahun 1883, menimbulkan tsunami besar yang memporak-porandakan pesisir Lampung di ujung tengara Sumatera dan Banten di ujung barat Pulau Jawa. Dikhabarkan, sebuah  vihara yang dikeramatkan banyak orang di Tanjung Kait, Tangerang, ikut karam. Seniman musik Gambang Kromong  anonim mengabadikan peristiwa ini dalam lagu Kramat Karam.

Dahsyatnya ledakan Krakatau membuat kepundan kawahnya hilang tenggelam di dasar laut, dan sisa paparan Gunung Krakatau menghasilkan Kepulauan Krakatau dengan tiga pulau besar utama, yakni Pulau Panjang, Pulau Sertung, dan Pulau Rakata (kata arkais untuk hewan kepiting laut)

Kejutan terjadi 44 tahun setelah letusan dahsyat itu. Kaum nelayan Banten serta Kepulauan Sebuku dan Sebesi di selatan Teluk Lampung yang biasa mencari ikan di perairan Kepulauan Krakatau, melaporkan kepada petugas Kolonial Belanda bahwa di perairan dalam yang dilingkari Pulau Panjang, Pulau Sertung dan Pulau Rakata ada sesuatu muncul dari bawah laut berupa gelegak air panas. Itulah kisah ditemukannya kawsh bawah laut di Selat Sunda tahun 1927, di titik belas kawah Krakatau, yang karena itu lantas disebut sebagai Pulau Gunung-api Anak-Krakatau, yang kian hari kian mencuat dan melebar  hingga kini berketinggian sekitar 230 m-dpl.

Sebagaimana yang umum terjadi pada kehadiran dan kemunculan situs-situs wisata alam di dunia, kaum pencinta alam (yang di dalamnya selalu terdapat jiwa-jiwa penjelajah dan.peneliti) Indonesia merupakan kalangan pertama yang tertarik berlayar, singgah dan mendaki ke bibir kawah Anak-Krakatau. Sejak tahun 1976, dengan izin khusus dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang berkantor pusat di Kota Bogor, saya dengan beberapa teman ada beberapa kali datang ngelayap ke Gunung Anak-Krakatau. Terakhir, bersama Resti dan  grup backpacker-nya, saya berkunjung tahun 2010 saat instansi berwenang pemberi izin  menyatakan kawasan itu relatif aman buat kunjungan terbatas.

Lewat jalur lampung pula kunjungan yang lalu itu saya lewatkan. Untuk kenyamanan perjalanan, selain penyiapkqn  perizinan, trip-guide commander juga sudah menyiapkan mimibus dan mengontak pemilik perahu penyeberangan ke TKP.

Berangkat tengah malam dari Jakarta, naik kapal penyeberangan antara Merak – Bakauhuni , pagi hari mobil travel sudah  mengantar (dan akan menjemput kami lagi nantinya) kami ke Pelabuhan Canti di Desa Canti, Kecamatan Rajabasa  Kabupaten Lampung Selatan. Di situ sudah menunggu kapal.kayu yang akan menyeberangkan kami, dua jam berlayar, ke Pulau Sebrsi di Kepulauan Sebuku-Sebesi di lepas pantai srlatan Teluk Lampung.

Kami menginap semalam di homestay milik warga di Pulau Sebesi, dan saya.memanfaatkan waktu antara lain untuk ikut kelompok warga berburu babi (pemgganggu ladang pertanian) dengan menggunakan anjing-anjing kampung yang sudah terlatih, hihihi…!

Esoknya, usai sarapan  dengan rebus umbi talas sebagai pengganti nasi plus dendeng rusa  dan sayur pepaya, perahu kayu bermotor yang kemarin.membawa kami dari Pelabuhan Canti, kembali.melayarkan kami ke sasaran utama: Pulau Gunung-api Anak-Krakatau.

Inilah trip  Anak-Krakatau sesungguhnya, trip sekitar 6 jam, berangkat usai sarapan pagi, berlayar sekitar 1 jam dari Sebesi, sekitar 2 atau 3 jam di papar Pulau Anak-Krakatau, dan selepas tengah hari (“Sebelum ombak bergolak,” kata Tukang Perahu) kami sudah harus balik pulang ke Pulau Sebesi. Karena itu, barang bawaan yang tak perlu, plus tas punggung yang besar dan relatif berat, ditinggal di homestay. Masing-maing dari kami hanya menyandang day-pack nerupa makanan-minuman, obat-obatan prinadi, sandal atau sepatu gunung, topi, tongkat untuk pengimbang langkah  dan tentu saja payung yang siap dikembangkan dan tahan kesiur angin kencang.

Udara cerah. Kepundan kawah pucuk Gunung-api Anak-Krakatau (230 m-dpl) tampak jelas di kontur pulau yang menanjak, sekitar 300 meter dari pantai tempat kapal kami mendarat dan berlabuh di ceruk tenang. Namun percaya nggak percaya, butuh waktu sekitar 2 jam untuk mencapai posisi aman di bibir kawah. Bukan cuma kerucut pucuknya yang lumayan terjal  tapi juga karena pasir dan kerikil panas di sepanjang rintis pendakian, membuat tiap kaki melangkah maka membuat langkah merosot lagi ke tempat semula.

Perlu kesabaran dan keterampilan tersendiri untuk mendaki Anak-Krakatau, melangkah sambil kedua tangan ganti-berganti menggenggam tongkat (agar langkah stabil) dan tangan lainnya menggenggam payung yang mengembang dan terasa berat oleh tiupan angin dan taburan pasir dari langit.

Gunung Anak-Krakatau memang tak henti menyemburkan debu dan kerikil vulkanik dari perut bumi. Bahkan bongkahan lahar uang yang berhamburan jatuh membakar hangus daun dan ranting pohonan uang ada di sekitar. Inilah gunanya payung, agar hujan debu dan batuan vulkanik tak langsung menimpa tubuh kita. *

07/01/2023 PK 12:58 WIB.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.