Seide Sesungguhnya, ketika dihadapkan pada kenyataan pahit, bahwa saya tidak kuliah, saya bertanya diri sendiri: apakah orangtua bersikap adil pada anak-anaknya?
Sesungguhnya, saya kecewa dan amat terpukul. Karena sebagai anak bungsu, ternyata saya tidak seberuntung dibandingkan dengan ketiga kakak saya yang kuliah itu. Tapi, saya juga beruntung, ketika sadar diri dan percaya, bahwa Allah tengah menyiapkan ‘hal’ yang terbaik bagi saya di masa depan.
Karena tidak kuliah, tidak membuat saya menyerah dan ‘nglokro’ alias putus asa. Sebaliknya saya melihat kenyataan itu. Usaha orangtua yang pailit itu membuat saya untuk bangkit, berjuang, dan mengubah keadaan. “Saya harus mandiri dan sukses!”
Kini, pertanyaan orangtua berlaku tidak adil terhadap anak-anaknya itu sering kali hinggap di hati ini. Mengapa?
Sesungguhnya anak itu, saya, atau kita biasa melihat dan menilai dari kaca mata sempit dan negatif, yakni pikiran sendiri! Kita tidak membuka hati dan mau melihat hal yang positif atau hikmah di balik semua itu.
Seperti yang pernah dikeluhkan oleh anak pertama saya, ketika saya menyekolahkannya di smp swasta di bilangan Blok B, Kebayoran Baru. Ketika itu usianya 12 tahun, dan ia harus naik angkot atau mobil jemputan dari Ciledug!
Anak saya merasa berat dan sulit, karena sekolahnya jauh, harus berangkat pagi, dan pulang sore. Ditambah lagi, jika ada eskul, jalanannya macet, hujan, dan sebagainya.
Padahal tujuan saya adalah agar anak memperoleh pendidikan yang baik, disiplin, dan mandiri. Kendati saya, kita, atau orangtua lain telah menjelaskan maksud dan tujuan itu pada anak. Kenyataannya, banyak anak yang kurang memahami hal itu, dan selalu merasa kurang, jika membandingkan dengan saudaranya yang lain.
Sesungguhnya, rasa iri itu ada di setiap hati insani, ketika kita kehilangan rasa bersyukur atas anugerah Allah.
Rasa iri, benci, dan selalu kurang dalam hidup ini, sesungguhnya hal negatif itu yang meracuni hati, hingga kita jadi stres, tersiksa, sakit, dan mendendam pada orang lain.
Berperilaku adil itu sulit, ketika kita tidak berani jujur pada diri sendiri untuk mensyukuri dan berterima kasih atas anugerah Allah. Sehingga, selalu ada anak saya komplain atau membandingkan dengan yang lain.
“Le, lihatlah sejarah perjalanan hidup orangtuamu. Syukurilah apa pun yang kalian terima dan manfaatkan demi kebaikan dan masa depanmu. Dengan berpikir positif, kalian tidak terluka. Kalian bakal menemukan hikmat yang hakiki,” jelas saya mencoba bijak. Sekaligus sebagai bahan pembelajaran, karena kelak mereka bakal jadi orangtua.
Selalu berdoa untuk berserah pada Allah, saya mohon penyertaan-Nya agar mampu memberi yang terbaik untuk keluarga.
…
Mas Redjo / Red-Joss