Tidak harus ngotot, apalagi bicara sambil berteriak-teriak. Selain tidak sopan, tidak enak didengar, permalukan diri, dan otot leher kita juga berasa sakit.
Coba bicara dengan lembut. Dari hati ke hati. Dengan tatapan mata saling mengasihi.
Hasilnya sungguh jauh berbeda. Ibarat bumi dan langit.
Sudah seharusnya kita berani mengontrol diri agar tidak mudah terpancing emosi.
Ketika kita berpikir positif dan berprasangka baik, adakah hati ini mudah konslet?
Bagaimana mungkin konslet dan meletupkan emosi, jika kita tidak menyimpan minyak di dalam hati?
Jangan bilang sulit mengendalikan diri, jika kita tidak mau berusaha untuk berjuang dan mohon pertolongan Allah.
Bicara keras sambil berteriak itu bukan karena kita berada di tempat ramai, bising, atau panggung hiburan.
Sebelum terbiasa, lalu menjadi kebiasaan atau karakter buruk, cobalah bicara dengan lembut.
Lakukan, seperti kita bicara dengan anggota keluarga yang kita sayangi dan kasihi.
Bicara dengan hati itu untuk hindari perselisihan, kesalahpahaman, dan permusuhan. Karena kita saling menghargai dan menghormati sebagai saudara.
Dengan membiasakan diri untuk bicara lembut tapi jelas, lama kelamaan mengubah pribadi kita menjadi lebih beretika, santun, dan lembut hati.
Dengan berani mengalah untuk lebih mendahulukan dan memahami orang lain, kita menjadi pribadi yang sabar dan rendah hati. (MR)