Bila Pantai Jakarta Tidak Direklamasi

Masjid wal Adhuna Muara Baru - Kompas03

Dimana pun juga reklamasi menjadi proyek bisnis. Pemerintah harus menggandeng swasta, dengan imbalan proyek property. Masalah lainnya adalah apakah warga asli di sana bisa dilibatkan, ikut serta, mendapat imbalan yang adil. Ganti untung. foto Kompas

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

KEPADA sesiapa yang antipati pada proyek reklamasi, maka silakan jalan jalan ke kawasan Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, dan melihat sendiri bagaimana daratan menjadi laut. Dan bangunan lapuk yang tersisa yang dahulunya merupakan masjid di sana, nampak merana.

Rumah ibadah itu, beberapa tahun berada di daratan, sebagaimana mushala / masjid di kampung pada umumnya. Akan tetapi – seperti nampak pada gambar – kini telah tenggelam. Mushala / Masjid Wal Adhuna menjadi saksi bisu bagaimana air laut menggerus kawasan pesisir Jakarta dan menyebabkan tenggelam secara perlahan. Seperti di foto, dimana genangan air laut sudah nyaris menyentuh bagian atap mushala.

Tentunya air laut dari pantai utara tak hanya menggerus daratan Jakarta melainkan juga Banten, Tangerang, Bekasi dan terus ke pesisir Jawa tengah dan timur hingga kawasan Gresik, ujung pesisir utara di Jawa Timur. Jika abrasi pantai terus dibiarkan, maka kawasan pesisir akan nampak seperti mushala yang dulunya ada di wilayah daratan itu.

Saat jurnalis ‘Sindonews’ meliput pada awal Desember 2021 lalu, terjadi kenaikan air pasang laut atau banjir rob. Wilayah terparah yang terdampak banjir rob adalah Kelurahan Marunda, Kelurahan Ancol, kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, Muara Angke, dan Muara Baru. Banyak perumahan warga, perkantoran, hingga jalan nasional yang terendam banjir rob dengan ketinggian mencapai satu meter.

Jurnalis grup MNC itu mencoba mendatangi salah satu tempat yang saat itu secara perlahan tenggelam akibat kenaikan air laut sekaligus turunnya permukaan tanah, yakni bangunan mushala Wal Adhuna. Berada di balik tanggul setinggi 2,5 meter, bangunan Masjid Wal Adhuna masih terlihat kokoh berdiri di pinggiran laut Jakarta.

Namun tembok-tembok bangunan kini penuh coretan dan bagian bawahnya menghitam akibat ditumbuhi lumut. Tidak jauh dari bangunan masjid, sekitar 100 meter terdapat sejumlah rumah warga.

Diah, 45, seorang warga setempat yang sempat diwawancarai, mengatakan, mushala Wal Adhuna telah berdiri sejak 30 tahun lalu. dulunya masih banyak warga sekitar yang berprofesi sebagai nelayan dan buruh menuaikan ibadah salat di masjid tersebut. Akan tetapi sudah belasan tahun Masjid Wal Adhuna tidak digunakan lagi, karena mulai diterjang ombak dan banjir rob.

Artinya, masjid ini sudah puluhan tahun menghadapi ganasnya ombak dan banjir rob, hingga kini nyaris tenggelam. “Sudah ada kali 17 tahun nggak kepakai masjidnya. Sudah lama sebetulnya. Kalau berdiri mah ada kali 30 tahun, sudah lama sekali,” tutur Diah ditemui, Jumat (10/12/2021).

SETAHUN sebelumnya, jurnalis ‘Kompas’ juga melakukan liputan di lokasi yang sama. Dilaporkan hampir 11 tahun (pada Februari 2020 itu) Masjid Wal Adhuna tergenang di pesisir Jakarta. Masjid ini berlokasi di balik tanggul besar yang berdiri di lahan Pelabuhan Sunda Kelapa.

Warga sekitar menyebut lokasi ini sebagai Gang Gudang Koja. Separuh dinding masjid berkelir putih dan kusam sudah mengelupas. Lumut-lumut pun tumbuh subur di dinding masjid tersebut.

Seng-seng pada atapnya juga sudah bolong-bolong. Berbagai jenis sampah tersangkut di atasnya. Melihat kondisi seperti demikian, siapa sangka dahulu masjid ini pusat ibadah dengan beragam kegiatan di masa silam. Dahulu ratusan jamaah rutin menunaikan ibadah shalat lima waktu di sana. Terlebih ketika memasuki momen shalat Jumat, dan ibadah di Hari Raya.

Masjid ini dibangun sebagai tempat ibadah para pekerja pelabuhan.Salah satu warga bernama Ahmad Yani mengatakan, masjid itu dahulu sangat ramai dikunjungi warga. Bahkan, terkadang jamaah harus beribadah di luar bangunan masjid untuk shalat berjamaah. “Apalagi kalau shalat Jumat, Tarawih, dan shalat Id, itu ramai sekali,” tutur Ahmad.

Kondisi mulai berubah ketika tempat sandaran kapal dialihkan ke Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 2008-2009. Kawasan pergudangan yang sempat memadati pelabuhan semua diratakan dengan tanah. Hanya bangunan ibadah Wal Adhuna yang tersisa.

Pengurugan tanah di sebagian pantai utara menjadi keniscayaan, mau tak mau harus dilakukan. Atau warga di pinggir pantai akan terus kehilangan daratan.

MASALAHNYA adalah hanya swasta yang bermodal besar yang bisa melakukannya, dengan konsesi pembangunan property di sana dan dijual untuk memperoleh kembalian investasi.

Dimana pun juga reklamasi menjadi proyek bisnis. Pemerintah harus menggandeng swasta, dengan imbalan proyek property.

Masalah lainnya adalah apakah warga asli di sana bisa dilibatkan, ikut serta, mendapat imbalan yang adil. Ganti untung.

Selama ini, konflik terjadi karena pejabat dan wakil rakyat menjadikan reklamasi bukan untuk rakyat di sekitar pantai, melainkan untuk modal politik dan kepentingan sendiri. Akibatnta, rakyat dan pengamat memusuhi reklamasi, memusuhi pengusaha – menjadi pihakantagpnis – padak akan mengubah area yang tak bernilai lagi – jadi kawasan emas lagi.

Atau tetap dibiarkan saja, sehingga air laut terus menggenang. Lalu seiring perjalanan waktu, rumah warga, rumah nelayan di pinggir pantai satu per satu dan hilang – seperti mushala Wal Adhuna di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara itu. *

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.