Oleh Aries Tanjung
Parkir adalah masalah yang krusial, sensitif dan sekaligus menggiurkan bagi pemprov di kota-kota besar. Baik parkir resmi ‘setengah resmi’ atau parkir liar.
Krusial karena pengguna jalan kerap terganggu oleh kendaraan yg memakan badan jalan. Sensitif karena tempohari kerap terdengar ada pemuda setempat bentrok dengan pendatang, memperebutkan lahan itu. Menggiurkan karena mendatangkan pemasukan yang tidak sedikit.
Tetangga pernah bergurau tentang parkir liar. “Lama-lama, kita parkir di halaman rumah pun, diminta uang parkir!”
Ketika disuruh oleh kantorku meliput di Hongkong, lebih dari 20 tahun lalu, aku ngobrol dengan pemilik apartemen di daerah padat di Mongkok, tempatku menginap. Dia tak punya kendaraan pribadi. Ketika aku tanya kenapa, dia malah balik bertanya: “Untuk apa? tanyanya.
Hongkong ini tak terlalu besar. Kendaraan umumnya terintegrasi, aman, relatif murah dan mudah dijangkau. “Lagi pula,” katanya melanjutkan, “ Biaya parkir perjam di jalan atau tempat berbelanja, dan tempat penitipan sangat mahal”
Di Tokyo, Jepang, orang yang berkendaraan mobil pribadi, dianggap orang kampung, orang dari luar, atau pinggiran kota megapolitan Tokyo. Jika penduduk kota New York menyebut diri mereka Newyorker, mungkin para penduduk Tokyo menyebut diri mereka Tokyosang, merasa tak butuh kendaraan pribadi, karena kemana-mana menggunakan kendaraan umum yang kebih terintegrasi, mudah, aman, relatif murah dan tentu saja lebih canggih daripada Hongkong.
Bagaimana dengan Jakarta ?
Beberapa hari lalu, salah-satu dari stasiun tv berita dimana aku kerap mampir itu, menayangkan obrolan lewat on-line dengan tema parkir.
Pemprov berwacana akan menaikkan tarif parkir. Jika bicara tentang kenaikan tarif, biasanya kita tak terlalu terkejut, karena memang terif kerap naik seenaknya tanpa ada sosialisasi dan (seringnya) tak perlu alasan. Tetapi kali ini kenaikannya mengejutkan, mencengangkan, mungkin membahayakan.
Membahayakan? Jika anda kebetulan harus kerap parkir di tempat umum, menderita penyakit jantung, sedang enak-enak sarapan, lalu mendegar berita bahwa tarif parkir yg sebelumnya Rp 5000,- , tiba-tiba menjadi Rp 60.000 per jam, bisa jadi anda akan tersedak?!
Entah pemprov mengirim orang yang kompeten atau tidak untuk menjawab pertanyaan anchor tv berita itu, atau kebetulan pagi itu cuma orang itu yg kebetulan sudah hadir di kantor. Tapi, jawabannya, ngambang, muter-muter, tak fokus, tak jejas.
Tak jelas itu bukan hanya subsatansi jawabannya saja. Tapi juga redaksional, bahkan artikukasi pengucapannya. Sehingga sang anchor sampai berkata. “Saya ulang pertanyaannya ya, pak. Dari mana jumlah kenaikan yg mencengangkan dari Rp 5,000,- per jam, menjadi Rp 60.000.- per jam?. Bagaimana hitung-hitungannya, sehingga pemprov mendapat angka itu? Jawabannya tetap ngambang.
Akhirnya, dari jawaban yang ngambang itu, aku mencoba menyimpulkan sendiri. Kenaikan itu, baru wacana. Dan wacana itu baru digodog, dirapatkan. Jika ada dinamika dari masyarakat, tentu akan dicari jalan terbaik. Kenaikan tarif parkir itu diharapkan, supaya orang yang memiliki kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum. Sehingga kendaraan pribadi yang berseliweran di jalan berkurang, yang otomatis mengurangi kemacetan.
Tadinya, aku berfikir bahwa pemprof ingin menarik pajak setinggi itu dari penduduk yang secara ekonomi dianggap baik, yaitu pemilik kendaraan roda 4. Tapi, ternyata tarif parkir untuk sepeda motor pun, naik. Yaitu dari Rp 3,000,- per jam, menjadi Rp 18.000,- per jam.
Ada pepatah: “Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui”. Ini lebih enak lagi. Tanpa kerja berarti, dan hal asyik bisa diperoleh. Lalu-lintas tak macet, pemasukan bertambah pula.
Tapi, sekali lagi, semua itu baru wacana. Bagi anda yg sdh terlanjur tersedak, itu risiko hidup di Ibukota yg penuh dinamika.
1)