Blangkon dan Cerita di Baliknya

Iket (kiri) dan blangkon (kanan) merupakan ungkapan penghormatan orang Jawa kepada kepala, kepada sesama dan kepada Tuhan yang Maha Pencipta.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

ORANG Jawa punya ‘unen unen’ alias pepatah yang berbau sindiran dan nesehat, “Gajah diblangkoni, bisa khotbah ora bisa nglakoni” – yang artinya, gajah dikasi blangkon, bisa khotbah, tapi tidak bisa menjalankan.
Ini bentuk ungkapan lain dari ‘unen-unen’ “Jarkoni” : ‘isa ngajar, ora isa nglakoni’. Bisa mengajar tapi tak bisa menjalani. Alias omdo : omong doang.

Blangkon adalah penutup atau ikat kepala lelaki dalam tradisi busana Jawa. Dahulu kala, setiap orang Jawa pakai blangkon atau Iket, kain penutup kepala dengan ikatan dan bentuknya yang khas. Baik yang polos maupun bercorak.

Bahkan petani juga memakai penutup kepala tudung atau iketan.

Penutup kepala adalah bentuk penghormatan dan kelengkapan penampilan orang Jawa – dan warga pelosok Nusantara pada umumnya.

Mengenang masa kecil di kampung halaman pada era 1970’an, laki laki pakai penutup kepala jika menghadiri acara penting dan resmi. Pada kegiatan yang menyangkut agama, memakai peci. Bila menyangkut adat, memakai blangkon.

Jika mendadak kedatangan atau menyambut tamu, biasanya tuan rumah memakai baju dan menyambar penutup kepala – sebagai bagian dari tata krama dan unggah ungguh.

Masyarakat Jawa kuna meyakini bahwa kepala seorang lelaki memiliki arti serius dan khusus, sehingga penggunaan blangkon, iketan atau tudung, sudah menjadi pakaian keseharian atau pakaian wajib. Bentuk dan ungkapan pemuliaan.

Tradisi itu kini sudah pudar. Seiring kehadiran budaya Barat. Topi golf atau topi gunung, menjadi penggantinya.

Saat ini, saya sungguh iri campur kagum melihat laki laki Bali yang bangga dengan ikat kepalanya – yang sejujurnya memang keren dan modis. Akan tetapi sebenarnya blangkon tak kalah kerennya.

Saya ingin blangkon trendi lagi. Jika pakai ikat kepala model Arab saja orang kita tak malu memakainya, kenapa memakai ikat kepala kedaerahan, seperti blangkon, harus malu?

Selanjutnya, makna filosofis

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.