SEPERTI ornamen dan busana lain, di balik blangkon ada makna filosofis mendalam, yang menurut paham Jawa, berupa pengharapan dalam nilai-nilai hidup.
Blangkon mengisyaratkan ‘jagad gedhe’ , sedangkan kepala yang ditumpangi dan ditutupinya mengisyaratkan ‘jagad alit’. Makna blangkon dalam hal ini adalah sebagai simbol pertemuan antara jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad alit (mikrokosmos) di bawahnya.
Blangkon menyimbolkan kekuatan Tuhan yang diperlukan bila manusia ingin menjalankan tugasnya untuk mengurus alam semesta.
Dalam peranan manusia sebagai pemimpin, kita membutuhkan kekuatan Tuhan.
Karenanya, manusia harus selalu menjaga dan memerhatikan mahkotanya, yakni kepala, rambut, dan wajah sebagai bagian terpenting dan terhormat.
Dahulu kala, pembuatan blangkon tidak dilakukan oleh sembarang orang. Ada ritual dan sesajinya juga. Hal ini karena ada ‘pakem’ atau aturan tersendiri. Jadi, hanya seniman yang memahami dan memiliki keahlian terkait pakem tersebut yang boleh membuat blangkon.
Kebetulan seorang tetangga saya pembuat blangkon. Ki Prawiro Blangkon, sebutannya.
Pemenuhan pakem dan nilai keindahan memiliki pengaruh besar terhadap nilai blangkon. Semakin memenuhi pakem, maka semakin tinggi nilai blangkon tersebut, sedangkan nilai keindahan berdasarkan pada cita rasa serta ketentuan standar sosial. Tak hanya berlaku pada saat pembuatan, tetapi juga saat penggunaan.
Pada dasarnya blangkon terbuat dari kain berbentuk persegi empat bujur sangkar, yakni kain iket atau kain udeng. Kain memiliki ukuran lebar dan panjang sekitar 105 cm x 105 cm.
Kini blangkon modern atau permanen sudah menggunakan lebih sedikit kain, hanya setengah ukuran dari kain tersebut.
Ada perbedaan yang kasat mata antara blangkon gaya Solo dan blangkon gaya Jogya. Blangkon Solo kempes belakangnya. Sedangkan blangkon Jogya ada mondolannya.
Di zaman dahulu, banyak sekali lelaki pada masyarakat Jawa – khususnya di bawah kekuasaan kraton Jogyakarta – yang memanjangkan rambut. Namun, mereka tidak membiarkan rambutnya terurai berantakan, melainkan selalu mengikatnya dengan kain atau menggulung rapi ke belakang kepala. Sikap ini merupakan bentuk pengendalian diri.
Mereka hanya akan mengurai rambutnya saat berada di rumah atau dalam sebuah pertikaian, seperti perkelahian dan peperangan. Bagi masyarakat pada saat itu, melepas penutup kepala dan membiarkan rambut terurai menunjukkan wujud luapan emosi atau amarah memuncak.
Jadi, blangkon bisa menjadi peringatan untuk selalu bersikap lembut dan menahan emosi. Sedangkan mondolan adalah tempat ikatan rambut di belakang itu.
Pembuat blangkon harus memastikan mondolan berada tepat di tengah dan lurus ke atas menjadi pengingat agar penggunanya senantiasa lurus menjalankan perintah dan tidak menutup mata terhadap Yang Mahakuasa.
Sedangkan di Solo yang lebih dulu dekat dengan Belanda dan rajin potong rambut tidak ada tonjolan di belakangnya. Melainkan terjalin dengan mengikatkan dua pucuk helai kain di bagian kanan dan kiri.
Mulai dari kehadiran, bentuk, pembuatan, maupun penggunaan blangkon tidak serta merta tanpa makna. Ternyata, di balik penutup kepala tersebut tersimpan banyak rahasia.
MASUKNYA ajaran Islam ke tanah Jawa memberikan makna tambahan bagi kebiasaan memakai blangkon. Dalam tafsir Islam, penggunaan blangkon memiliki arti tersendiri.
Di balik bentuk spesial tersebut, kain blangkon yang menutupi kepala sebanyak 17 lipatan melambangkan adanya 17 rakaat dalam 5 waktu shalat. Kehadiran mondolan di bagian belakang juga mencegah penggunanya dari tidur.
Sementara itu, sisa kain di samping mondolan sebanyak 6 menjadi simbol rukun Iman dalam ajaran Islam.
Filosofi lainnya mengaitkan blangkon dengan makna dua kalimat syahadat dalam agama Islam. Kain di bagian belakang blangkon sebanyak 2 ikatan menandakan syahadat kepada Allah SWT dan syahadat kepada Rasulullah SAW. Kain tersebut diikat menjadi satu kesatuan “syahadatain”.
“Syahadatain” diletakkan di tempat teratas dan terhormat. Hal ini menunjukkan bahwa apapun pemikiran dari kepala (akal pikiran) harus memperhatikan aturan Islam dan berlandaskan keimanan kuat terhadap Allah beserta Rasul-Nya.
DIKARENAKAN orang Jawa tak cuma muslim, bahkan asal usulnya Kejawen, Budha dan Hindu, barang tentu, ada makna lain dari blangkon menurut budaya asli Jawa, Budha dan Hindu. Juga orang Kristen Jawa.
Sebagaimana pengaruh Belanda, masyarakat Solo lebih dulu mengenal cukur rambut, membuat blangkon menjadi kempes. Bahkan selain blangkon diperkenalkan jas bernama ‘beskap’, yang asal katanya adalah “beschaafd” yang artinya berkebudayaan (civilized). ***