Beberapa waktu lalu, sempat populer istilah IQ, Inteligence Quotient. Kita sdh lama ‘menduga’ bahwa orang dari daratan Eropa, memang ber-IQ tinggi (di atas 150, IQ tinggi katanya 200an).
Dari 10 besar negara yg IQ-nya tinggi, ada beberapa negara Eropa. Austria malah menduduki peringkat ke-1. Disusul Swis dan Itali. Yg unik, dari 10 besar itu tak ada Amerika, haha. Dan yg agak mengejutkan, dari 10 besar itu ada bangsa Eskimo, Cina, Taiwan dan…Singapur!
Lalu, belakangan ada pula istilah EQ, Emotional Qoutient. Maksudnya adalah: Kecerdasan emotional juga penting dan tak bisa dianggap sebelah mata. Kecerdasan emotional itu aku anggap kurang lebih seperti: tahu diri dan bisa bertenggang rasa terhadap sesama.
Lalu ada pula ilmuwan yg mengkritisi soal IQ itu. Sang ilmuwan bilang:
“Terlalu na’if apabila IQ seseorang (yang di test berdasarkan ‘selera’ ilmu tertentu) dipakai untuk mengukur inteligensia manusia. Karena manusia itu sangat kompleks. Dan tingkat, ukuran dan jenis kecerdasanya pun sangat kompleks.”
Indonesia -apabolehbuat- berada di bawah negara-negara ‘kemaren sore’, seperti beberapa pecahan negara Rusia dan sejajar dengan beberapa negara di Afrika, bahkan Laos. Tapi lumayan,…masih di atas Pilipina.
Dulu, orangtua di sini suka membanggakan jika anaknya mendapat nilai tinggi dalam test IQ. Malahan sempat ada istilah ‘IQ jongkok’ untuk orang yang dianggap kurang cerdas.
Sekolah-sekolah kita sudah terlanjur ‘membuat stempel’, bahwa yang paling cerdas adalah jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Disusul IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan terakhir…Bahasa.
-Padahal banyak pendidik mengeluh bahwa karya-karya tulis baik matematika atau Sosiologi itu menggunakan bahasa bahkan logika berbahasa yang kurang dimengerti bahkan kacau karena menggunakan bahasa yg buruk! Padahal atau justru karena Bahasa ‘dicitrakan’ terbawah dan ‘tak penting’?.
Belum lama ini, aku tertarik dengan tulisan berbau curhat seorang ibu. Isinya kira-kira begini.
Aku, tentu tak menafikan bahwa aku bangga jika anakku pandai dan mendapat nilai tinggi dalam pelajaran Matematika, Fisika, Ilma Alam atau Sosiologi. Tapi aku akan lebih bangga jika anakku mendapat nilai tinggi dalam hal ‘kesadaran mengantre’. Sayang, mengantre tak ada di mata pelajaran formal di sekolah.
Lalu, ibu itu menjabarkan pentingnya kesadaran mengantre.
Dalam mengantre, kau disadarkan oleh banyak hal. Kau bisa mempelajari banyak hal.
Kau dipaksa untuk menahan diri. Bahwa jika kau datang belakangan, maka bersiaplah dgn risiko ini. Otomatis tempatmu di belakang orang lain di depanmu yg lebih dulu datang.
Jika ingin berada di depannya dalam antrean, berarti kau harus datang lebih dulu (yang berarti harus bangun lebih pagi).
Dalam mengantre, kau bisa melakukan banyak hal. Misalnya membaca atau mengamati perilaku manusia lain, mulai dari ekspresi gelisah, tak sabar, yang tenang-tenang saja sampai yg tak peduli dgn sekitar.
Kau tak boleh nenyerobot. Konsekuensinya adalah kau akan dibully dan dipermalukan di depan umum. Kau harus bisa (ini pelajaran berat: menahan diri) dan tak mengambil hak orang lain.
Begitulah. Selamat pagi dunsanak. Salam sehat. Selamat mengantre, menunggu giliran…divaksin, ‘kali yee…
(Aries Tanjung)