Boedi Djarot, Aktivis Berhati Singa yang Ramah Dalam Keseharian

Seide.id, Dari ketiga keluarga Djarot yang muncul di pentas seni dan politik nasional, Boedi Djarot adalah orang terkahir saya kenal dan menjadi cukup dekat menjelang akhir hayatnya.

Walau pun saya sudah mengenal namanya cukup lama, dan beberapa kali melihat beliau datang di “Kandang Ayam” – tempat berkumpulnya mantan wartawan, aktivis politik, seni dan olahraga – mengenal secara lebih dekat dengan Boedi Djarot, tepatnya dia juga mengenal saya secara pribadi baru pada awal tahun ini.

Dengan kedua kakaknya, aktor Slamet Rahardjo Djarot dan musikus serta politikus Eros Djarot sudah kenal sejak tahun 80-an. Sebagai wartawan film tentu saya sering bertemu dan menulis mereka. Bahkan Slamet Rahardjo Djarot lebih dekat lagi. Tahun 2017 ketika saya mengikuti kegiatan Indonesia Movie Week di Kroasia, saya dan seluruh anggota rombongan tinggal satu flat dengan Slamet Rahardjo. Suatu kali ketika menikmati kopi pagi sehabis bangun tidur, saya bersama teman wartawan Teguh Imam Suryadi dan Bobby Batara, ngobrol Panjang tentang perfilman bersama aktor senior tersebut.

Boedi Djarot (tidak memakai baju) bersama Tim Jurnalis Seide.id, Komunitas Kandang Ayam dan Menteri KKP Peride I Pemerintahan Jokowi. (Foto: Seide / Gunawan Wibisono)

Menjelang hingga tahun 90-an, saya adalah wartawan film yang aktif. Ketika itu dunia perfilman sedang ramai, termasuk adanya konflik antara Djarot bersaudara dengan Subentra Grup, holding pemilik jaringan bioskop 21. Djarot bersaudara, terutama Eros Djarot dengan gigih melawan Grup Subentra yang dianggap melakukan monopoli perfilman di Indonesia – mulai dari soal impor film hingga jaringan bioskop. Eros bersama sejumlah orang film bahkan mendatangi DPR dan Menteri Dalam Negeri Rudini ketika itu. Tetapi perjuangan mereka kandas, karena modal dan kekuatan politik nasional saat itu tidak berpihak pada mereka.

Tahun 90-an saya menulis di Harian Angkatan Bersenjata (AB). Suatu hari saya mendapat kabar, sejumlah orang film – di antaranya Eros Djarot, Slamet Rahardjo, Ki Soemardjono dan banyak lagi – mendatangi Harian AB. Mereka mempersoalan tulisan yang saya buat, sebuah essay tentang film Tjoet Nya Dhien. Mereka mencari saya, tetapi waktu itu saya tidak ada di kantor redaksi, karena saya selalu datang pada malam hari untuk menyerahkan tulisan. Belakangan saya baru tahu bahwa ada kalimat yang diplesetkan dalam tulisan saya oleh redaktur. Untungnya redaktur bertanggungjawab penuh dan siap menghadapi Eros Djarot Cs yang mencari saya. Anehnya secara pribadi, meskipun kami sering bertemu di lapangan, Eros Djarot tidak pernah mengenal saya.

Berbeda dengan Slamet Rajardjo yang mengenal saya. Bahkan saya pernah satu mobil produksi dalam perjalanan syuting ke Situ Patenggang Bandung, tahun 1996. Sepanjang perjalanan itu Slamet Rahardjo banyak berbicara dengan saya tentang perjuangannya di bidang perfilman.

Boedi Djarot, meskipun memiliki jiwa seni, memilih jalan berbeda dibandingkan kedua kakaknya. Dia menjadi aktivis politik sejak masa Orde Baru sampai saat ini. Jika di masa Orde Baru dia melawan rezim Soeharto, di masa pemerintahan Presiden Jokowi ini dia membela Jokowi dan melawan penentang-penentangnya, termasuk Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI).

Boedi Djarot (paling kanan), Jurnalis Seide.id Harry Tjahjono dan Herman Wijaya ketika ngopi di sebuah warung di Pangandaran, 29 Mei 2021 lalu (Foto: Dok. Pribadi HW)

“Sejak masih kuliah dia emang aktivis, suka protes!” kata Joseph Erwiyantoro alias Mbah Cocomeo, sahabatnya sejak kuliah di STP hingga IISIP Lenteng Agung, Jakarta.

Pada Juli 2020 ini nama Boedi Djarot mencuat setelah dia bersama rekan-rekan aktivisnya membakar poster Habib Rizieq di depan Gedung DPR. Sejak itu Boedi Djarot menjadi buruan orang-orang FPI.

“Rumah gua tiga kali disatronin. Kalau gua enggak lari-larian, pasti gua mati!” tutur Boedi dalam wawancara saya untuk channel youtube Matabento, Februari 2021 lalu.

Demi keselamatan dirinya, Boedi Djarot terpaksa harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, karena dia menjadi buruan kelompok atau orang-orang yang tidak menyukai dirinya. Tetapi Boedi Djarot menolak menyerah, dia tetap berani mengkritik dengan keras ormas FPI atau kelompok-kelompok lain yang mengancam NKRI. Itu disampaikan dalam wawancara maupun status-statusnya di Facebook.

Banyak yang heran mengapa Boedi Djarot begitu berani. Bahkan melawan FPI yang memiliki kekuatan massa begitu besar dan sangat militan. Siapa di belakang Boedi Djarot? Hal itu tidak pernah teruangkap dari mukutnya.

Wawancara saya dengannya merupakan kesempatan saya untuk mengenal lebih dekat Boedi Djarot. Dan sejak saat itu kami bersahabat. Dalam arti dia mengenal saya secara pribadi. Boedi Djarot ternyata orang yang ramah dan saya menghormati orang yang dikenalnya. Dia suka memanggil saya “Mas Bento”, walau pun saya agak risih dipanggil Mas. Tetapi dalam budaya Jawa, itulah panggilan hormat seseorang kepada orang lain, meskipun yang dipanggil lebih muda.

Pada 28 Mei 2021 saya dan teman-teman dari Komunitas Kandang Ayam diundang ke tempat kediaman Menteri KKP periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, Susi Pudjiastuti. Selain saat tidur atau beristirahat, selamat di Pangandaran bisa dipastikan kami memiliki waktu bersama. Baik di saat makan, diskusi atau mengikuti kegiatan Ibu Susi Pudjiastuti di laut.

Suatu sore, tanggal 29 Mei 2021, saya bersama anggota rekdasi Seide.id Harry Tjahjono dan Boedi Djarot ke luar menikmati suasana Kota Pangandaran. Niatnya untuk bersantai dan menikmati kuliner setempat. Kami menyusuri jalan di depan terminal yang terletak tidak jauh dari komplek perkantoran dan kediaman milik Sudi Pudjiastuti.

“Makan soto enak nih sore-sore begitu,” kata Boedi Djarot sambil berjalan di atas trotoar.

Apa yang kami cari tidak ketemu. Dia membeli tahu goreng di pinggir jalan, dan dimakan sepanjang jalan. Akhirnya kami ketemu sebuah warung kecil di pojokan seberang patung ikan marlin yang menjadi ikon Kota Pangandaran.

“Ya udah kita ngopi aja di situ. Kopi sasetan juga enggak apa-apa,” kata Boedi Djarot. Kami sepakat untuk ngopi di warung tersebut. Untuk menemani ngopi saya membeli martabak telur yang ada di sebelah warung. Dengan martabak telur dan sisa tahu yang dibeli di pinggir jalan itulah kami ngopi.

Sambil ngopi kami ngobrol ngalor-ngidul. Boedi Djarot tidak menempatkan dirinya sebagai seorang aktivis yang sudah diperhitungkan secara nasional. Dia menempatkan diri secara sejajar, dan lagi-lagi memanggil saya “Mas Bento” yang membuat saya agak risih.

Kami di Pangandara sampai tanggal 31 Mei 2021. Senin, 31 Mei 2021 kami Kembali ke Jakarta dengan pesawat Cesna Caravan milik Susi Air berpenumpang 12 orang. Boedi Djarot yang ketika keberangkatan ke Pangandaran menggunakan pesawat lain, kali ini satu pesawat dengan kami.

Pesawat mendarat pukul 13.00 siang di Bandara Halim Perdana Kusumah. Di bandara kami berpisah untuk Kembali ke rumah masing-masing.

Tanggal 20 Juni 2021 dikabarkan Boedi Djarot masuk perawatan di Wisma Atlet Kemayoran karena terpapar covid-19. Tanggal 24 Juni dikabarkan kondisinya memburuk, tidak mau makan karena kalua makan muntah, jadi harus lewat selang. Kemarin sore sekitar pukul 18.00 kami mendapat kabar Boedi Djarot menghembuskan nafas terakhirnya. Info awal mengabarkan jenazahnya akan dimakamkan di pemakaman Rorotan, Jakarta Utara, tetapi kemudian kabar terbaru menyebutkan jenazahnya akan dimakamkan di TPU Jombang, Ciputat Tangerang Selatan, Senin pagi 28 Juni 2021.

Boedi Djarot adalah orang yang berani. Dia sangat mencintai NKRI dan menghormati keragaman yang ada di dalamnya. Itulah sebabnya dia melawan pihak-pihak yang menafikan keberagaman dan toleransi di Indonesia. Selamat jalan Boedi Djarot. Semoga sepeninggalmu NKRI tetap terjaga.

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer