Buaya

Jika ada survei tentang buaya. Jika surveinya berbunyi: “Dalam 1 kata, apa pendapat anda tentang buaya?”. Aku yakin kesan spontan yang ada dalam benak lebih dari 50% atau bahkan 90% orang yang disurvei adalah sesuatu yang negatif. Ucapan spontan 1 kata itu paling-paling sekitar: seram, sangar, mengerikan, rakus, dll. Yaa, sekitar itulah.

Ini bukan survei, cuma ngobrol ngalor-ngidul saja. Dalam suatu obrolan, entah bagaimana awal pembicaraannya, tau-tau kami sampai kepada suatu hal tentang buaya. Secara spontan, begitu saja (karena aku punya beberapa lukisan tentang buaya), aku iseng-iseng bertanya kepada teman-teman, kesan mereka dalam 1 kata tentang buaya. Reaksi teman-temanku, seperti (seandainya ada) survei itu tadi, yaitu: hampir semua jawaban bekesan negatif. Mulai dari, seram, ngeri, sangar, kejam, rakus dll. Malah ada beberapa yang berekspresi terkejut, terkesima dengan ‘todongan’ pertanyaanku yang dirasa aneh.

Ada yang bengong saja tak menjawab. Tapi ekspresinya seperti menggambarkan dan balik bertanya: “Eh, ini pertanyaan apa’an sih. Ngapain sih elo menyodorkan pertanyaan gak penting seperti ini?!”. Ada juga yg malah bertanya (diiringi keheranan teman lain): “Eh,…katanya dagingnya enak ya?” Tak seorang pun menjawab: Aih,…lucuuu, ramah, atau menggemaskan.

Dari mana, kesan negatif itu muncul? Tentu saja dari berbagai informasi, dari berbagai sumber yqng mengendap di dalam benak. Dari pengetahuan, dari pengalaman atau dari sekadar ‘katanya-katanya’ saja.

Kesan negatif itu memang tak bisa sepenuhnya disalahkan. Tapi tak bisa disalahkan, bukan berarti sudah pasti benar, bukan?

Dunsanak, tahu Walt Disney bukan?
Bagi yang lupa atau tak tahu, baiklah aku ceritakan sedikit. Walt Disney adalah seorang yang bisa disebut pionir dalam dunia film anak-anak, film kartun dan animasi. Nah, karena dinia anak, maka gambar-gambar kartun direka-reka oleh Walt menjadi sesuatu yang ramah dan menyenangkan.

Seorang teman, seorang ilustrator senior pernah berkomentar: “Di tangan dan benak jenius Walt Disney, semua hewan yang menyeramkan seperti macan, singa, beruang, anjing liar, ular, ikan hiu dan srigala yang digambar, jadi terlihat ramah dan menggemaskan. Tapi, ada 1 hewan yang bahkan si jenius Walt Disney pun nampaknya agak kesulitan untuk menggambarnya menjadi hewan yqng ramah dan menggemaskan, yaitu:…buaya. Hehe.

Kita, tentu tak pernah berinteraksi secara fisik dengan hewan liar, termasuk buaya. Paling-paling (jika boleh disebut interaksi) kita terhadap hewan buas termasuk buaya adalah, kita sebagai penonton dan hewan buas sebagai mahkuk yang ditonton, di kerangkeng di kebun binatang.

Tetapi anehnya, kita mempunyai begitu banyak pendapat, dugaan atau ungkapan dari kata: buaya. Seperti: “Dasar buaya darat!”, “Air mata buaya”, “Lidah buaya”, “Tangkur buaya, dll. Seperti galibnya dugaan,…tentu saja bisa salah, bisa benar, bahkan bisa berlawanan dengan yang diduga.

Mari kita mulai dengan ungkapan: Dasar buaya darat! Itu adalah ungkapan tentang seseorang (lelaki) yang ‘hobi’-nya adalah merayu wanita. Setelah berhasil dirayu, sang lelaki dengan mudahnya meninggalkan wanita itu. Tentu setelah dia memperpleh apa yang diinginkan. Atau si lelaki tak mencampakkan wanita yang sebelumnya dirayunya, tapi ‘si buaya’ akan merayu wanita lain lagi. Begitu seterusnya.

Nah, ungkapan itu, ‘sangat merugikan eksistensi’ buaya. Karena ungkapan itu tak cuma keliru, tapi bahkan berlawanan dari sifat buaya. Buaya adalah hewan yang setia dengan satu pasangan seumur hidupnya! Itulah mengapa dalam budaya Betawi, buaya digambarkan sebagai simbol kesetiaan dalam pernikahan. Biasanya rombongan calon pengantin pria yang akan melamar, membawa barang-barang ‘hantaran’ untuk fihak keluarga calon pengantin wanita. Di antara barang-barang bawaan itu ada roti yg berbentuk sepasang buaya.

Air mata buaya. Ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang orang yg berpura-pura sedih bahkan menangis karena begitu menyesali perbuatannya yang telah merugikan orang lain. Padahal itu dilakukan, hanya untuk menarik perhatian. Mungkin setingkat atau sedikit saja lebih tinggi dari ‘playing victim’,.. mungkin. Ungkapan ini pun rasa-rasanya asal menduga-duga atau bahkan mengarang belaka. Hla, bangaimana mungkin kita bisa mengetahui ekspresi buaya itu, sedih, stress, bingung, cemas atau gembira? Dan,…rasa-rasanya aku tak pernah melihat buaya mengeluarkan airmata.

Lidah buaya. Nah, tumbuhan yang belakangan ini, kebanyakan dari kita sepertinya baru ‘ngeh’ akan manfa’atnya. Dulu ketika remaja, seorang teman melumuri rambutnya dengan semacam jeli di bagian dalam pelepahnya.

“Supaya rambut jadi tebal dan hitam”, katanya. Aku meniru. Hasilnya? Kepalaku sekarang plontos! Tapi, tambuhan mirip kaktus berbentuk daun berduri itu ternyata mengandung semacam jeli yang bermanfaat untuk tubuh kita. Paling tidak membuat oerut adem, kata orang Betawi.

Entah kenapa tumbuhan itu disebut lidah buaya. Bolehjadi karena berduri. Sebetulnya, meski buaya membuka mulutnya lebar-lebar pun, kira tetap saja hampir tak bisa melihat lidah buaya. Karena lidahnya kecil seperti menempel saja di rahang bagian bawah. Sehingga lidahnya tak bisa dijulurkan seperti jenis reptil lain. Bahkan sejenis bunglon tertentu ada yang bisa ‘menembak’ (karena kecepatan dan ketepatannya) serangga calon makanan, dgn lidahnya yang mengandung semacam lendir perekat.

Tangkur Buaya. Nah iniii. Tangkur adalah entah istilah atau bahasa apa yang berarti penis. Istilah tangkur ini, mau-tak-mau melempar ingatanku ke masa kecil. Ketika itu aku kerap nongkrong sebagai penonton di sekitar tukang obat. Tukang obat itu menjual ‘obat kuat, berupa minyak.

Dulu, waktu kecil, tentu saja aku tak tahu apa yang dimaksud ‘kuat’ oleh tukang obat itu. Tangkur itu ada berbentuk seperti tulang, berdiameter kurang-lebih sebesar jari-jari jempol lengan orang dewasa. Keras dan berduri-duri. Entah apa benda itu. Benarkah itu penis buaya. Pernahkah tukang obat itu bahkan sekadar melihat penis buaya, apalagi bisa memperoleh sebanyak itu? Tapi, para bapak yang menonton dan mendengar ocehan dahsyat tukang obat itu, berbondong-bondong membeli minyak yg konon sudah diaduk dengan ramuan tertentu berupa minyak rendaman tangkur buaya.

Buaya konon adalah hewan yang sangat tua dari zaman dinosaurus. Ketika sebagian besar mahluk hidup termasuk ‘mbah dino’ punah karena bumi dihajar oleh meteor nyasar, konon beberapa jenis serangga dan reptil termasuk buaya selamat! Bayangkan, kata para ilmuwan, jika mahkuk hidup dari zaman yg jauh lebih tua drpd kita masih survive sampai hari ini, berarti kecerdasannya tak main-main. Atau jika kita menganggap buaya bukanlah mahluk cerdas (karena ukuran otaknya konon kecil saja), maka bisa dipastikan, jenis makanan untuk kelangsungan hidupnya tetap tersedia.

Di beberapa negara, buaya sudah punah. Cina dan India 2 negara besar yang menyatakan buaya selangkah lagi punah, sedang berusaha sekuat tenaga mengupayakan supaya hewan dahsyat itu tak punah.

Di sini? Aah,…buaya atau ‘buaya’,…kita dengan mudah akan menemukannya, bukan..?


Ilustrasi: “Celeng diuntal buaya”…(akrilik di kanvas, 130x110cm)

(Aries Tanjung)

KENCING ?