Budaya Antre

Antre

Ole EFFI S HIDAYAT

Jarum jam hampir menunjuk angka 12.00 siang ketika saya tiba. Ada seorang ibu bersasak tinggi, berbusana hijau mencorong, sehingga saya masih menunggu giliran untuk bertemu petugas bagian keuangan kampus di mana sulung saya menuntut ilmu.

Oke-lah, saya duduk anteng persis di sebelah mereka.  Setelah itu, menit-menit pun berlalu,  searah jarum jam yang  terusss bablas bergeser ke kanan. Hampir satu jam lebih, saya menunggu obrolan, yang seolah tiada putus.

Owhh, risiko bertemu teman sekampung? Kuping saya menyalahi fungsi  mendengarkan seluruh isi pembicaraan. Mulai dari sesama marga pariban dan keponakan yang berstatus polisi  berpangkat jabatan tertentu, serta isu narkoba yang kian marak! Lha, keperluan si Ibu opo tho, sebenarnya?

Bukankah aktivitas kesibukan; foto-foto tanda bukti  pembayaran di layar monitor komputer sudah stop sedari tadi? Berkas-berkas di map pun telah lama diserahterimakan. Apalagi yang harus diurus, selain obrolan tak berujung  yang bikin perut saya mendadak urus-urus?

Saya melihat si Ibu riang berbinar-binar  bertukar cakap dengan si Bapak petugas berkacamata yang senantiasa asyik tertawa hingga terbahak-bahak.  Wah, lupakah mereka, masih ada saya yang duduk di sebelah menanti giliran?

Membiarkan tamu menyelesaikan pembicaraan sebelum adalah penting sebelum orang lain menyeruak masuk dalam pembicaraan dan tidak antre

Mendadak gerah, saya memutuskan  mencari udara segar. Selemparan batu, di depan pintu yang terbuka, sejenak saya berbicara dengan seorang mahasiswi yang juga sedang menunggu di luar. Sesekali saya melongok ke dalam, menjulurkan leher yang sengaja saya panjang-panjangkan bak jerapah.

Ha, belum ada tanda-tanda obrolan tak menentu  itu akan selesai. Saya lalu memutuskan kembali duduk di bangku , sembari berulangkali melihat jam di pergelangan tangan. Tepat di atas dinding di hadapan saya, sedikit lebih tinggi dari kepala, tergantung foto Bapak Presiden Jokowi. Seolah menyenyumi bahasa tubuh saya yang blingsatan. Halah!

Hampir pukul setengah dua siang, perut saya keroncongan menagih makan siang. Belum lagi seabrek urusan lain menanti. Sekali jalan dari rumah saya di Serpong ‘merantau’ ke Jakarta, biasanya memang selalu saya barengi dengan berbagai hal sekaligus.  Maklum dah, jarak yang lumayan jauuuh , kepinginnya sekali dayung satu dua pulau terlampaui, bukan?

Saya menarik napas lega, ketika akhirnya  si Ibu bersasak tinggi, berkacamata

dengan gagang lebar dan menenteng tas tangan bermerk itu mengangkat bokong dari tempat duduknya. Oh, giIiran saya tiba juga!

Namun belum beberapa lama, di tengah pembicaraan tiba-tiba nyelonong masuk seorang ibu berkerudung merah dengan anaknya yang mahasiswa. Ia menegur sok akrab (karena merasa sudah kenal dengan si Petugas?) , sembari menyodorkan map.

Sesaat mata si Ibu bentrok dengan saya yang spontan reflek menunggu. Mungkin saja, dia akan meminta izin kepada saya demi keperluannya. Dan, apakah saya akan mengiakan permintaannya yang mendadak?  Hmm, saya pun menimbang-nimbang… .

Tetapi, rupanya hal itu hanya ada di dalam angan-angan saya saja karena si Ibu tanpa “ba-bi-bu” basa-basi langsung menyelak kepingin urusannya segera beres.

Hah, apa-apaan ini? Saya melihat si Petugas keuangan yang super ramah itu   tak menampik, siap menerima map yang disodorkan. Bersegera siap membuka file data si mahasiswa. Lalu, bagaimana dengan urusan saya yang belum selesai?

Dalam hitungan detik, saya memutuskan untuk berbicara dengan tegas,”Maaf, Bu, bisa menunggu sebentar? Urusan saya belum selesai….”

Dan, tanpa menanti jawabannya, saya beralih pandang kepada si Petugas. Bertanya dengan nada suara tak kalah tegas pula,” Sampai di mana, pembicaraan kita tadi, Pak?”

Si Ibu dan si Petugas, keduanya kompak tergeragap sejenak, seolah disadarkan bahwa masih ada saya yang urusannya memang belum selesai. Nah!  Si Petugas salah tingkah, sembari mengulas kata “maaf” yang ring tone-nya perlahaaan sekali keluar dari bibirnya. Lalu bagaimana si Ibu berkerudung? Apa lagi yang bisa dilakukan selain urun mundur bersama anaknya, menunggu gilirannya tiba?

Tidak lama urusan saya pun beres.  Dalam perjalanan pulang, saya merenung. Takjup juga, saya bisa segalak itu!  Sempat merasa bersalah karena “keakuan” saya yang mendadak nongol secara mumpuni. Tetapi, ah, sudahlah.  Saya hanya membela hak saya, bukan?

Budaya antre seharusnya tak cuma di jidat, tetapi hati setiap orang dan diberdayakan secara sadar. Apalagi si Ibu berkerudung membawa serta anaknya yang sudah mahasiswa. Bagaimana pula, kalau budaya menyelak yang dilakukan ibundanya, ditiru pula olehnya hingga ke anak cucu, dan dianggap “itu mah sudah biasaaa….?”

Demikian pula dengan pelayanan institusi pendidikan. Walau tidak harus ‘harga mati’ mencuri atensi loyalitas nasabah sebagaimana laiknya instansi perbankan, misalnya, bukankah pada dasarnya tetap saja pelayanan institusi publik mengusung  nama baik citra diri, apa lagi khususnya sebuah Yayasan Pendidikan ternama?

Ada etika dan rambu-rambu pelayanan yang harus diperhatikan penuh empati oleh karyawannya. Walau tak ada nomor antrean sekali pun, sang petugas seharusnya mampu membagi waktu secara profesional. Abaikanlah  obrolan tak jelas dan basa-basi yang tak perlu.

Duh. Perut saya yang semakin berkeroncong-ria menagih, membuat saya hanya mampu mengelus dada saya sendiri.  “Sudah saatnya makan siaaang!” jerit  body clock saya  dengan tegas pulak. Haiss!

Merdeka itu tak hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga seharusnya mampu menghargai hak dan kewajiban orang lain dengan penuh empati tanpa embel-embel SARA.

Merdeka itu tak cuma bela negara, kibarkan bendera tanpa berbela rasa kepada sesama.

Ya, ya. Selaiknya-lah kita juga belajar memaknai kemerdekaan lewat perkara-perkara kecil, seperti budaya antre. Bagaimana menurutmu?

(*Catatan 76 tahun Hari Kemerdekaan RI, 1782021).

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang